
Pilkades dan Politik Uang
Oleh M Danial
SETIAP musim pemilu atau Pilkada. Ada istilah yang sudah menjadi rahasia umum: serangan fajar. Istilah tersebut akrab di pendengaran masyarakat. Para kandidat atau tim suksesnya mencari simpati calon pemilih. Dengan menjadi “dermawan” menjelang hari pemungutan suara. Menebar janji-janji manis, disertai bagi-bagi uang atau barang kepada calon pemilih. Konon, serangan fajar berawal dari istilah para pelaku politik uang bergerak pada subuh hari menjelang pemilihan.
Pilkades (pemilihan kepala desa) dapat dikatakan Pilkada mini. Pilkades disebut pemilihan. Yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat desa untuk memilih kepala desa. Pilkada juga disebut pemilihan, yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat dalam daerah yang bersangkutan. Untuk memilih kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Pilkada maupun Pilkades merupakan praktik demokrasi moderen yang menghargai hak politik setiap warga negara sebagai pemilik kedaulatan.
Setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemilih, mempunyai hak yang sama. Tidak boleh ada perlakuan istimewa. Pilihan atau suaranya bernilai sama. Terlepas dari jabatan atau status sosialnya. Satu pemilih satu suara. Dalam pemilihan tidak ada istilah diwakili. Atau memercayakan kepada orang lain mewakili pada pemungutan suara. Ketentuan itu berlaku mutlak dan tidak boleh ditafsirkan lain dengan alasan apapun. Termasuk dalam pelaksanaan Pilkades, yang dalam pelaksanaannya kerap muncul penafsiran aturan berdasar kepentingan penguasa.
Pilkades sebagai wujud pelaksanaan demokrasi di desa. Idealnya menerapkan aturan yang sama pada pelaksanaan Pilkada dan pemilu. Termasuk larangan praktik money politik atau politik uang. Sayangnya, peraturan mengenai Pilkades sangat terbatas. Bahkan tidak jelas aturannya untuk mencegah politik uang. Sedangkan praktik politik uang cenderung menjadi kebiasaan juga dalam Pilkades di berbagai tempat. Fenomena politik uang di Pilkades, boleh jadi merupakan replikasi praktik yang sama pada kontestannya demokrasi level di atasnya. Pilkada, pemilu legislatif dan Pilpres.
Berdasarkan penelitian Halili (2009), modus politik uang dalam Pilkades terdiri beberapa pola. Pertama, menguasai dengan jalan membeli surat suara dalam jumlah banyak. Yang diduga dilakukan oleh pendukung calon kelala desa. Kedua, para tim sukses mendatangi calon pemilih membagikan uang atau barang. Ketiga, pelibatan pihak luar untuk mendatangi pemilih atau penyelenggara membagi-bagi uang untuk kepentingan calon yang dijagokan. Modus lain, adalah praktik yang kini dikenal dengan serangan fajar.
Dalam Pilkades, penyelenggara pemilihan yang pada umumnya “orang dekat” dengan penguasa, memanfaatkan posisinya yang menguntungkan calon tertentu.
Fenomena politik uang dalam Pilkades, sama halnya pada Pilkada dan pemilu. Tidak terlepas dari faktor saling ketergantungan antara dua pihak: pemilih dan calon kepala desa. Sang calon melakukan berbagai cara untuk meraih kursi kekuasaan. Sedangkan pemilih, sangat dipengaruhi faktor pragmatisme yang telah menjadi kebiasaan setiap pemilihan. Politik uang menjadi kesempatan bagi masyarakat pemilih mendapatkan uang. Mereka tidak pernah berpikir, apalagi menyadari konsekuensi jual-beli suara yang sebenarnya merupakan praktik suap, melanggar hukum negara dan agama.
Untuk penyelenggaraan Pilkades, belum terlambat untuk membuat peraturan yang jelas mengenai larangan praktik politik uang dan sanksinya. Sebagai bentuk pendidikan politik yang baik melalui praktik demokrasi yang bermartabat. Penegakan aturan Pilkades, harus disertai kejelasan pengawas Pilkades yang bertugas mengawasi dan memproses setiap pelanggaran, salah satunya politik uang. Pilkades merupakan momentum yang tepat untuk membiasakan yang benar dalam penyelenggaraan setiap kontestan politik. Bukan membenarkan kebiasaan melegalkan pelanggaran untuk kepentingan tertentu yang mencederai demokrasi.
Pelibatan unsur masyarakat sipil sebagai pengawas Pilkades, termasuk unsur pengawas Pemilu atau yang memiliki kapasitas dalam penyelenggaraan pemilu, sebagai bentuk komitmen untuk meningkatkan mutu Pilkades. Untuk hal tersebut, Pemerintah daerah dan DPRD kabupaten perlu memikirkan replikasi sebagian aturan Pilkada dalam penyelenggaraan Pilkades. (*