Kisah Keluarga Penyandang Disabilitas di Mapilli, Hidup Dari Mengupas Kelapa
Gode, Ombeng dan Malla, kakak beradik penyandang disabilitas asal Desa Segerang, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Kamis (05/11/2020).

Kisah Keluarga Penyandang Disabilitas di Mapilli, Hidup Dari Mengupas Kelapa

POLEWALI,- Hidup dalam keterbatasan fisik, bukan alasan untuk menyerah. Berbagai cara dapat dilakukan, demi bertahan hidup.

Seperti yang ditunjukkan tiga kakak beradik penyandang disabilitas bernama Malla (51 tahun), Gode (48 tahun) dan Ombeng (31 tahun), warga Dusun Sumael, Desa Segerang, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar.

Malla dan Gode menderita kebutaan pada kedua matanya sejak dilahirkan. Sehari-hari, keduanya berjuang menyambung hidup dengan bekerja sebagai pengupas kulit buah kelapa. Sedangkan si bungsu Ombeng memilih menjadi buruh tani, sembari memelihara ternak kambing dari warga.

Saat wartawan berkunjung, ketiga kakak beradik ini sedang berkumpul di rumahnya. Rumah panggung berbahan semi permanen, yang tampak lapuk dan reot karena usia. Nyaris tidak ada barang berharga di rumah berukuran 7 x 9 meter ini. Tidak ada kursi untuk tamu, hanya ada beberapa lemari usang, serta perlengkapan dapur seadanya.

Ketiganya tampak sangat ramah menyambut kedatangan saya. Si bungsu Ombeng, tampak bahagia, terus tertawa sembari menyampaikan pesan menggunakan bahasa isyarat.

Setelah berbincang beberapa saat, saya mencoba mengajak Malla dan Gode untuk menunjukkan kemampuannya mengupas kulit buah kelapa, kendati dengan kondisi kedua mata yang mengalami kebutaan.

Perlahan Malla dan Gode bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menapaki papan lantai rumah yang sudah lapuk, sembari mengambil alat kupas buah kelapa, dari besi runcing dan tajam, yang bagian bawahnya diberi penopang dari kayu.

Pelan tapi pasti, keduanya bergegas turun dari rumah, menapaki setiap anak tangga satu demi satu. Dibantu si bungsu Ombeng, puluhan buah kelapa dalam karung langsung dikeluarkan dari gudang di kolong rumah, untuk dikupas kulitnya.

“ Sejak umur 17 tahun saya mulai bekerja sebagai pengupas kulit buah kelapa. Awalnya ragu dan takut, tapi setelah dipelajari akhirnya bisa “, kata Malla kepada wartawan, Sabtu (07/11/2020).

Walau sudah terbiasa dengan profesi sebagai pengupas kulit buah kelapa, sesekali Malla dan Gode terlihat bergerak hati-hati, saat mengupas kulit buah kelapa, agar tidak terluka.

“ Soalnya pernah pernah luka, tetapi kalau sudah diobati lanjut kerja lagi. Harus dipaksa, agar semua kelapa bisa dikupas tepat waktu “, ujar Malla menghelas nafas.

Lanjut kata Malla, dalam sehari dia bersama Gode, mampu mengupas 300 buah kelapa, dengan upah 100 rupiah per buah, “ Biasa sehari dapat 25 sampai 30 ribu rupiah, tergantung kondisi kelapa, karena biasa ada yang kulitnya keras “, ungkapnya.

Diakui Malla, aktifitas mengupas kulit buah kelapa biasanya dilakukan tiga kali dalam seminggu, dan berkelompok bersama warga lainnya, “ Kalau kupas kelapa itu tidak setiap hari, biasa tiga kali seminggu. Kita ikut sama warga lainnya. Makanya upah mengupas kulit buah kelapa, sebahagian disisihkan untuk membeli bensin sepeda motor warga, yang membawa kami ke lokasi mengupas buah kelapa “, terangnya.

Mengupas kulit buah kelapa, merupakan profesi utama Malla dan Gode, penyandang disabilitas asal Desa Segerang, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, untuk menyambung hidup, Sabtu (07/11/2020).

Sementara itu, Gode mengaku, untuk bertahan hidup mereka juga mengandalkan hasil panen tujuh pohon kelapa di depan rumahnya, “ Kadang setiap tiga bulan sekali panen, hasilnya 100 buah, dijual seharga empat ribu rupiah untuk seikat buah kelapa “, bebernya.

Gode yang terlihat memakai kaos oblong bergambar pasangan kandidat calon bupati dan wakil bupati, juga mengatakan, tidak jarang buah kelapa yang sengaja dikumpulkan di kolong rumah, justru hilang diambil orang, “ Biasa kecurian, kelapa yang berada di kolong rumah hilang, mungkin anakk-anak yang ambil, soalnya kita juga tidak lihat “, imbuhnya sembari tertawa.

Kendati demikian, Gode mengaku bersyukur, lantaran masih ada tetangga yang berbaik hati, kerap memberikan bantuan bahan makanan dikala sulit, “ Kalau menyangkut penghasilan itu tidak seberapa, tidak cukup, untung saja masih ada tetangga yang biasa membantu memberi makanan “, sebutnya bersyukur.

Kondisi yang dialami kakak beradik penderita disabilitas ini semakin memprihatinkan, setelah rumah reot peninggalan kedua orang tua yang telah lama meninggal, rusak parah dihantam angin kencang, Rabu sore (04/11) lalu. Persitiwa tersebut membuat hampir seluruh atap rumah terlepas dan terbawa angin, membuat air hujan membasahi seisi rumah, “ Saya sangat berharap, bantuan dari pemerintah dan seluruh masyarakat, untuk membantu memperbaiki rumah ini. Kami tidak ada kemampuan, jangan untuk perbaiki rumah, kadang penghasilan sebagai pengupas kulit buah kelapa, tidak cukup untuk penuhi kebutuhan sehari-hari “, pinta Gode berharap.

Salah seorang warga Budaria, mengaku prihatin dengan kondisi yang dijalani kakak beradik penyandang disabilitas ini. Kendati kerap mengajak mereka untuk tinggal bersama, baik Malla, Gode maupun Ombeng selalu menolak, “ Kasihan sekali, selalu saya ajak untuk tinggal di rumah, tapi mereka tidak mau “, pungkasnya sambil menyeka air mata.

Kendati hidup dalam keterbatasan fisik, warga mengaku, Malla, Gode dan Ombeng adalah sosok yang peduli terhadap sesama. Mereka juga kerap meluangkan waktu, untuk memberikan sumbangsih tenaga bagi warga yang membutuhkan. Keterbatasan fisik tidak membuat mereka menjadi lemah, justru semakin kuat untuk menjalani beratnya hidup, walau dengan segala keterbatasan. (Thaya)

__Terbit pada
07/11/2020
__Kategori
Inspirasi, Sosial