
Unik, Tradisi “Mattunu Lekor” di Desa Mosso, Menyambut Malam 27 Ramadhan
BALANIPA ,- Suku Mandar di Desa Mosso, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, memiliki tradisi unik menyambut malam 27 Ramadhan.
Selain memperbanyak ibadah dan berdoa , mereka juga menggelar tradisi “mattunu lekor”, yang ditandai dengan membakar tempurung kelapa yang telah disusun hingga menyerupai menara dengan ketinggian satu sampai dua meter, seperti yang terlihat Jumat malam (31/05/19).
Tidak sulit untuk membuat menara dari tempurung kelapa ini. Tempurung kelapa kering yang bagian bawahnya telah diberi lubang, disusun dengan rapi dengan bantuan sepotong kayu atau bambu yang dimasukkan pada bagian tengah, sehingga tempurung tidak berhamburan ketika disusun hingga ketinggiannya mencapai satu sampai dua meter.
Proses pembuatannya tidak hanya melibatkan orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak agar mereka memahami warisan nenek moyang yang harus terus dilestarikan.
Sebelum tradisi ini digelar, warga terlebih dahulu menggelar doa bersama di rumah masing-masih, dengan harapan memohon perlindungan dan mendapat keberkahan dari yang maha kuasa di bulan suci Ramadhan ini.
Salah satu tokoh masyarakat desa Mosso yang dikonfirmasi, Kaco mengaku bahwa tradisi mattunu lekor ini adalah warisan leluhur yang hanya digelar sekali setiap bulan suci Ramadhan tiba “ Jadi ini adalah kebudayaan yang sudah dilakukan secara turun temurun, berhubungan dengan kepercayaan dan dilakukan hanya pada malam 27 ramadhan saja “ ungkapnya dalam Bahasa Mandar.
Disebutkan ada dua waktu yang dianjurkan dalam melakukan tradisi ini, yaitu usai waktu berbuka puasa dan jelang tengah malam, “ Pertama kita dianjurkan untuk mattunu lekor ini lebih awal, lantaran dahulu menjadi penerang jalan bagi warga yang hendak menuju masjid untuk beribadah di malam hari, dan yang kedua dibakar saat waktu tengah malam, lantaran diyakini cahaya api dari lekor yang terbakar akan menjadi penerang cahaya bagi lailatul qadar, untuk turun memberikan keberkahan bagi warga di daerah ini “ lanjut lelaki berusia 70 tahun ini.
Diyakini, leluhur mereka telah menitipkan pesan agar tradisi ini terus dijaga dan digelar secara turun temurun.
Berdasarkan pantauan wartawan, hampir semua warga di daerah ini menyiapkan dua hingga tiga lekor yang dipasang di halaman rumah masing-masing. Suasana kampung yang berada di pelosok desa ini terlihat lebih indah, oleh cahaya api dari lekor yang dibakar. Uniknya lagi, nyala api dari lekor tetap terlihat stabil walau ditiup angin kencang. (Thaya)