
Jalan Panjang dan Berliku Pemulangan Jenazah Yus Yunus
WONOMULYO,- Kematian Yus Yunus (25 tahun), warga Dusun Taramanu, Desa Sumberjo, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar, akibat penganiayaan sekelompok warga di Kabupaten Dogiyai, Papua, Minggu, 23 Februari lalu, masih menjadi perhatian publik.
Berbagai bentuk kecaman terhadap pelaku yang menyebabkan korban meregang nyawa. Apalagi, peristiwa memilukan itu terjadi di depan polisi, yang tidak berdaya untuk menyelamatkan korban dari tindakan anarkis para pelaku.
Kisah pilu meninggalnya korban, yang dituding menabrak seekor babi dan warga setempat hingga tewas, dirasakan juga keluarga saat proses pemulangan jenazah almarhum Yus Yunus, ke kampung halamannya di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Lika-liku yang dihadapi sejak dari Papua sampai tiba di Polewali Mandar, diungkapkan Hasriani (29 tahun), kakak almarhum kepada wartawan yang menyambangi rumah duka di Dusun Taramanu, Desa Sumberjo, Kecamatan Wonomulyo, Sabtu (29/02/20).
Minggu siang, sekira pukul 14:00 waktu Papua (waktu Indonesia bagian Timur). Saat itu, Hasriani baru saja tiba di Rumah Sakit Paniai, Papua, tempatnya bekerja sebagai Bidan sejak beberapa tahun lalu. Hasriani menerima telepon yang mengabarkan bahwa adiknya, Yus Yunus meninggal dunia karena kecelakaan. “ Waktu itu saya tidak langsung percaya, makanya saya mencoba mencari tahu kebenaran informasi itu dengan menghubungi istrinya (Nila Rahmawati). Namun, saat itu dia mengatakan suaminya baik-baik saja. Apalagi, sebelumnya Yus Yunus memang sempat memberi kabar kepada sang istri bahwa di jalan yang dia lalui terjadi kecelakaan,“ tutur Hasriani.
Tapi, Hasriani seolah dihantui juga rasa kuatir, sehingga berinisiatif mencari tahu kabar kematian Yus Yunus melalui sejumlah rekan dan teman almarhum sesama sopir truk. “ Saya telepon mereka untuk mencari tahu kebenaran informasi kematian adik saya. Hingga saya dapat kabar bahwa memang adik saya meninggal,“ ungkapnya.
Setelah memastikan kabar kematian adiknya, Hasriani tidak lantas meninggalkan rumah sakit. Dia terlebih dahulu menghubungi sejumlah rekan dan kerabatnya, termasuk meminta bantuan pihak TNI untuk melakukan pengawalan ke Kabupaten Dogiyai. “Memang di sana sudah seperti itu, apalagi jarak dari Paniai ke Dogiyai cukup jauh dan rawan. Makanya, biasa orang minta pengawalan ke aparat. Setelah mendapat pengawalan sekitar 10 orang anggota TNI, sekitar jam empat (pukul 16 waktu setempat), saya berangkat menuju Dogiyai menggunakan mobil patroli TNI.“

Menurut Hasriani, bersama anggota TNI kala itu tujuannya mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) kecelakaan lalu lintas yang berbuntut kematian Yus Yunus. “ Namun dalam perjalanan kami mendapat kabar, kalau jenazah almarhum sudah dibawa ke rumah sakit Dogiyai. Setiba di salah satu pos TNI, kami di arahkan menuju Polsek Dogiyai karena katanya, Polsek sudah melakukan penanganan peristiwa yang menyebabkan kematian adik saya. Saat itu hari sudah gelap, setiba di Polsek saya diberi tahu petugas kalau jenazah adik saya sudah divisum dan dimasukan ke kantong jenazah.“
Hasriani mengaku sempat meminta untuk melihat jenazah almarhum. Tapi tidak diizinkan dengan alasan keamanan. Hasriani disarankan menunggu kedatangan personil kepolisian dari Polres Nabire. “Saya sudah sampaikan kalau saya harus cepat, lantaran jenazah almarhum akan dipulangkan ke kampung. Tapi saya disuruh menunggu dengan alasan keamanan, padahal kala itu sudah ada Rider yang siap mengawal kami. Makanya saya menunggu lagi sampai pukul 10 malam “, ujarnya.
Setelah menunggu beberapa lama, personil dari Polres Nabire akhirnya tiba di Polsek Dogiyai, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Rumah Sakit Dogiyai, untuk menjemput jenazah almarhum. Saat itu, sudah hampir pukul 11 malam. Hasriani tidak sempat juga melihat jenazah almarhum, karena terburu-buru langsung di bawa ke rumah almarhum di kota Nabire. Tiba sudah subuh. “ Tiba di rumah, langsung disambut isak tangis istri almarhum,“ kisah Hasriani, sesenggukan.

Diakui Hasriani, saat melihat jenazah almarhum dengan kondisi memprihatinkan, dirinya tidak hanya merasa sangat sedih. Tapi juga, marah dan kesal. Apalagi, sebelumnya petugas mengatakan bahwa jenazah almarhum kondisinya baik-baik saja. “ Lukanya masih terbuka, darah masih mengalir, kotoran bekas penganiayaan juga masih menempel di badannya. Padahal, harusnya sudah ditangani pihak rumah sakit, apalagi almarhum berjam-jam didiamkan di sana,“ ungkapnya, kecewa sambil menarik nafas panjang.
Karena mengejar waktu penerbangan pesawat, Hasriani terpaksa memanggil paramedis untuk membantu menjahit luka di tubuh almarhum. Itupun, paramedis sempat kewalahan karena kehabisan benang untuk menjahit luka. Sehingga, mereka berinisiatif mencari benang di tempat lain. “Karena waktu semakin mendesak, kakak saya mencari benang-benang sisa, kemudian nekat menghambil alih menjahit luka almarhum. Padahal, kakak saya hanya tamatan SD, tidak memiliki basic untuk menjahit luka,“ terangnya.
Tepat pukul 09:00 pagi, Kamis (24/02/20), Hasriani bersama Busman sang kakak dan adik iparnya Mela Rahmawati, bergegas menuju bandara membawa jenazah almarhum. Setelah berulang kali mendapat konfirmasi dari petugas bandara, bahwa pesawat akan segera berangkat.
Sesampai di bandara, jenazah almarhum sempat tertahan lantaran tidak dilengkapi dokumen yang menjadi persyaratan pengiriman jenazah. Salah satunya, surat keterangan kematian dan surat keterangan formalin. Saat itu, Hasriani merasa dongkol. “Saya sempat bertanya, kenapa tidak sejak awal petugas yang menangani jenazah adik saya memberitahu untuk menyiapkan dokumen itu. Padahal sudah sejak awal saya sampaikan kalau jenazah almarhum akan saya pulangkan ke Sulawesi,“ keluh Hasriani.
Beruntung, berkat bantuan sejumlah koleganya, jenazah Yus Yunus berhasil dinaikkan ke pesawat untuk diterbangkan ke kampung halaman di Polewali Mandar, melalui bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Bandara Sultan Hasanuddin dengan kampung halaman almarhum berjarak kurang lebih 250 kilometer dengan waktu tempuh empat sampai lima jam perjalanan darat.
Hasriani dan keluarga bersama jenazah almarhum Yus Yunus, tiba di bandara Hasanuddin Makassar, sekira pukul 14:00 Wita. Sebelumnya, pesawat yang ditumpangi Hasriani transit di Bandara Ambon selama lebih kurang satu jam.
Setibanya di bandara Hasanuddin, Hasriani mengaku sempat terlibat cekcok dengan petugas bandara, yang enggan menyerahkan jenazah. Lagi-lagi, alasan dokumen dan administrasi. Sekira pukul 16:00 Wita, jenazah almarhum akhirnya diserahkan petugas bandara kepada pihak keluarga. Itupun, setelah mendapat bantuan dari sejumlah kenalan yang berempati terhadap kematian korban.
Perjalanan dari bandara Hasanuddin, Makassar menuju kampung halaman, di Desa Sumberjo, Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar, menurut Hasriani tidak luput juga dari sejumlah kendala.
Pasalnya berulang kali mobil ambulance yang ditumpangi mogok di tengah jalan. Dalam perjalanan antara Pangkep – Barru, mobil ambulance yang membawa jenazah almarhum terpaksa ditukarkan dengan ambulance milik salah satu Puskesmas. “Saya sempat merasa ragu. Tapi, mungkin karena waktu itu saya masih menggunakan pakaian dinas, akhirnya dimudahkan ” tuturnya.
Pakaian dinas yang dikenakan Hasriani. Adalah pakaian sama yang digunakan sejak meninggalkan Rumah Sakit Paniai, menuju Dogiyai , lalu ke Nabire hingga ke Sulawesi.
Jenazah almarhum Yus Yunus, tiba di kampung halamannya sekira pukul 22:00 Wita, langsung dimandikan lalu disholatkan, selanjutnya dimakamkan di pekuburan Islam Desa Sugihwaras, Kecamatan Wonomulyo.
Menurut Hasriani, yang bertugas sebagai Bidan di rumah sakit Kabupaten Paniai, pertemuan terakhir dengan almarhum adiknya pada awal tahun lalu. Saat itu, dirinya berencana pulang bersama almarhum ke kampung halaman. Namun tertunda. Ternyata, diirnya pulang ke kampung halaman bersama sang adik yang sudah menjadi jenazah, “ Padahal setiap saya ingin ke kota Nabire, pasti menumpangi mobil truk yang dikemudikan almarhum “ ucapnya, sambil menyeka air mata.
Dikatakan, bahwa almarhum dan teman-temannya kerap mampir ke rumah sakit tempat Hasriani bekerja sebagai tenaga medis. Mereka kerap mampir untuk beristirahat sambil minum kopi atau meminta vitamin. “Tapi entah kenapa, pada hari saat kejadian, baru kali itu, dia tidak mampir di rumah sakit,“ kenang Hasriani. Matanya berkaca-kaca.
Hasriani mengatakan, sudah beberapa kali meminta almarhum untuk mencari pekerjaan lain, lantaran profesi sebagai sopir dianggap cukup berbahaya di daerah yang rawan keamanan. “Sudah sering saya sarankan cari kerjaan lain, karena kerjaannya terlalu beresiko,“ ungkapnya, berlinag air mata. (Thaya)