
Hari ke-100
Oleh, M Danial
SEPEKAN lalu ramai “pengumuman” capaian 100 hari kerja para kepala daerah hasil Pilkada 2024.
Menilai kinerja pejabat publik termasuk kepala daerah setelah 100 hari pelantikan sudah menjadi fenomena umum. Hari ke-100 menjadi simbol arah kebijakan, prioritas, dan komitmen kerja. Angka 100 seolah menjadi deadline tak tertulis pembuktian bahwa janji kampanye bukan sekadar retorika.
Tradisi 100 hari kerja pejabat publik pertama kali dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat ke-32 Franklin D. Roosevelt saat menghadapi krisis ekonomi pada 1933. Pada hari pertama jabatannya, Roosevelt langsung menggulirkan kebijakan untuk mengatasi depresi ekonomi yang parah melanda AS saat itu. Sejak itu, capaian 100 hari kerja menjadi tolok ukur global. Untuk menilai pejabat publik dan kemampuannya melaksanakan program yang dijanjikan.
Tradisi pencanangan capaian 100 hari kerja di Indonesia. Pertama kali menjadi perhatian publik pada awal pemerintahan SBY-JK. Setelah 100 hari pemerintahannya, masyarakat mulai menantikan hasil kerja dan langkah-langkah strategis selanjutnya yang akan dilakukan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2004 itu.
Seiring waktu, pencanangan capaian 100 hari kerja menjadi tradisi yang diadopsi para pejabat publik. Termasuk para kontestan pemilu dan pilkada untuk menarik simpati publik. Masyarakat, media, dan para pengamat pun seolah sepakat bahwa durasi tiga bulan sepuluh hari adalah waktu yang cukup untuk menilai arah kebijakan pemimpin yang baru. Namun apakah 100 hari kerja benar-benar cukup untuk menilai kinerja pejabat publik?
Dalam praktiknya, pengumuman capaian hari kerja ke-100 lebih bersifat simbolik ketimbang substantif. Sulit membayangkan pembenahan berbagai persoalan, menyelesaikan tumpukan masalah, atau membangun infrastruktur dalam waktu singkat. Publik tidak meminta semua harus tuntas secara instan. Yang diharapkan adalah kejelasan arah kebijakan: program prioritas, arah kepemimpinan, dan jaminan keputusan yang pasti.
Tidak sedikit pejabat publik yang menjadikan hari kerja ke-100 sebagai panggung pencitraan. Malah banyak yang terjebak praktik serba instan: dari bagi-bagi bantuan sosial, hingga mengulang penyampaian program populis yang belum tentu berkelanjutan.
Pada awal asa jabatan para kepala daerah menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Salah satunya menjawab ekseptasi publik yang tinggi. Namun tidak sedikit yang larut dalam euforia. Ada pula yang tanpa sadar terpancing membuat gebrakan instan untuk sekadar memuaskan opini publik.
Hari ke-100 idealnya menjadi mementum untuk kejelasan arah ke depan. Setidaknya selama masa jabatan yang tentunya diharap tidak satu periode saja. Karena itulah sangat penting komitmen yang disertai kesungguhan melaksanakan transparansi dan keterbukaan, serta komunikasi publik yang jujur apa adanya.
Dalam sistem pemerintahan demokratis, keterbukaan informasi merupakan pilar penting untuk menyemangati masyarakat melakukan pengawasan partisipatif. Tradisi pencapaian 100 hari kerja merupakan momentum penting. Yang perlu dimaknai sebagai representase komitmen terhadap prinsip transparansi dan keterbukaan, akuntabilitas dan responsibiltas terhadap publik.
Hak rakyat untuk mendapatkan informasi publik dijamin konstitusi. Diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pengumuman capaian hari ke-100 adalah praktik baik yang perlu diapresiasi. Sebagai bentuk komitmen melaksanakan amanah UU: pejabat publik harus menyampaikan informasi yang akurat, jelas, dan mudah diakses publik.
Dalam praktiknya tidak semua menyampaikan secara transparan capaian hasil 100 hari kerja. Ada yang hanya memaparkan informasi umum dan normatif. Seolah sekadar menggugurkan kewajiban. Tidak heran jika klaim capaian yang fokus pencitraan menyebabkan kepercayaan publik menurun. Menjadi ironi pula, karena klaim capaian itu terdorong euforia berlebihan menafikan kritik konstruktif dan evaluasi publik.
Pengumuman hasil 100 hari kerja seharusnya bukan sekadar panggung pencitraan. Melainkan sebagai momentum penguatan komitmen untuk membumikan praktik keterbukaan. Untuk menyuburkan praktik komunikasi dua arah (pemerintah dan masyarakat) menjadi tradisi yang terus terpelihara dan menjadi budaya kerja.
Alih-alih menjadi panggung pencitraan, 100 hari kerja sebaiknya menjadi momentum evaluasi hasil kerja yang terukur secara transparan.
Klaim capaian yang disertai indikator terukur akan berpengaruh positif untuk menguatkan kepercayaan publik. Dengan begitu, klaim capaian 100 hari kerja akan terhindar dari kesan sekadar ritual. Sebaliknya menjadi penguatan semangat serta komitmen untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Masyarakat akan lebih menghargai kejujuran mengakui kekurangan dan tantangan, ketimbang yang hanya menampilkan pencapaian setengah matang. Lagipula, akuntabilitas bukan tentang klaim keberhasilan dan penampilan menarik kepada publik. Melainkan mengenai komitmen yang tulus terhadap hasil dan proses yang dapat dipertanggungjawabkan. (*)