
Geliatdemokrasi.id: Sebuah Konsep Platform Gerakan Pengawasan Pemilu di Media Sosial
Oleh :
Syahrul Juniar Setiawan
(Alumni SKPP Lanjut Bawaslu RI 2021)
Kekacauan informasi politik berupa misinformasi, disinformasi, dan mal-informasi yang seringkali disederhanakan sebagai hoaks politik ini diproduksi dan disebarkan oleh banyak pihak. Pertama, para politisi dan/atau tim kampanye mereka yang punya kepentingan untuk menyerang lawan politik. Kedua, warganet pendukung capres-cawapres yang memuja calon pujaan namun menutup mata pada calon lainnya. Ketiga, media baik media massa konvensional, media baru, maupun media ‘abal-abal’, yang secara sengaja atau tidak sengaja memproduksi atau mereproduksi kekacauan informasi.
Dilansir dari news.detik.com, menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi menunjukkan selama Agustus-Desember 2018 terdapat 62 konten hoaks terkait pemilu 2019, Jika dibiarkan, hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian akan terus menggerogoti praktik demokrasi sehat. Dampak buruknya, konten negatif itu akan melekat sebagai karakter bangsa. Hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian bermuatan politik yang mulai mewabah adalah efek samping dari kebebasan demokrasi di era digital. Kebebasan ini juga turut mentransformasikan cara pandang politik (way of politics) dan cara berpolitik (way of political participation) warga negara yang sekaligus warganet—politik bukan lagi sebuah ideologi tetapi bidang praktis nan taktis untuk meraih dan/atau mendukung kekuasaan dengan cara apa pun.
Media berlangsung baik jika dalam komunikasi politik, media bisa menempatkan diri sebagai saluran netral dalam menyampaikan informasi secara transparan dari satu aktor politik dengan aktor politik lainnya dalam tugasnya melayani kepentingan masyarakat. Sebaliknya, media berlangsung buruk jika media menjadi lebih kuat dari aktor politik lainnya Geliatdemokrasi.id: Sebuah Konsep Platform Gerakan Pengawasan Pemilu di Media Sosial
Kekacauan informasi politik berupa misinformasi, disinformasi, dan mal-informasi yang seringkali disederhanakan sebagai hoaks politik ini diproduksi dan disebarkan oleh banyak pihak. Pertama, para politisi dan/atau tim kampanye mereka yang punya kepentingan untuk menyerang lawan politik. Kedua, warganet pendukung capres-cawapres yang memuja calon pujaan namun menutup mata pada calon lainnya. Ketiga, media baik media massa konvensional, media baru, maupun media ‘abal-abal’, yang secara sengaja atau tidak sengaja memproduksi atau mereproduksi kekacauan informasi.
Dilansir dari news.detik.com, menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi menunjukkan selama Agustus-Desember 2018 terdapat 62 konten hoaks terkait pemilu 2019, Jika dibiarkan, hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian akan terus menggerogoti praktik demokrasi sehat. Dampak buruknya, konten negatif itu akan melekat sebagai karakter bangsa. Hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian bermuatan politik yang mulai mewabah adalah efek samping dari kebebasan demokrasi di era digital. Kebebasan ini juga turut mentransformasikan cara pandang politik (way of politics) dan cara berpolitik (way of political participation) warga negara yang sekaligus warganet—politik bukan lagi sebuah ideologi tetapi bidang praktis nan taktis untuk meraih dan/atau mendukung kekuasaan dengan cara apa pun.
Media berlangsung baik jika dalam komunikasi politik, media bisa menempatkan diri sebagai saluran netral dalam menyampaikan informasi secara transparan dari satu aktor politik dengan aktor politik lainnya dalam tugasnya melayani kepentingan masyarakat. Sebaliknya, media berlangsung buruk jika media menjadi lebih kuat dari aktor politik lainnya.
Seperti negara dan masyarakat dan lebih berfokus melayani kepentingan pemiliknya dan/atau capital.
Gagasan penulis terkait platform media Gerakan Literasi Digital untuk Demokrasi (geliatdermokrasi.id) selain melakukan program literasi digital secara mandiri, juga akan melakukan kolaborasi dengan media lain, dengan komunitas, ataupun dengan organisasi lain yang sebagian besar berupaya menekan dampak kekacauan informasi di era pascakebenaran. Misalnya bekerja sama dengan KPU, Bawaslu, Kemenkominfo ataupun kanal website terpercaya. Gerakan ini bertujuan untuk mengajak kaum muda/netizen di Indonesia untuk meningkatkan kompetensi literasi digital mereka. Kaum muda yang mempunyai pikiran dan sikap kritis dalam mengelola informasi dianggap sebagai salah satu benteng dalam upaya menangkal kekacauan informasi, baik yang berupa misinformasi, disinformasi, maupun mal-informasi tentang demokrasi.
Gerakan Literasi Digital untuk Demokrasi (geliatdemokrasi.id) merupakan platform media sosial yang berfokus untuk memverifikasi fakta tekait kabar hoaks, mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis informasi tentang kampanye pemilu dan mendistribusikan serta memproduksi konten positif tentang demokrasi khususnya pengawasan pemilu. Selain itu juga kami akan berkolaborasi untuk menyelenggarakan Webinar/Seminar literasi digital untuk demokrasi, cek fakta tentang informasi hoaks dan pelatihan konten kreator pengawasan partisipatif.
Keterlibatan media dalam melakukan program literasi digital menuju tahun politik 2024 akan sangat dibutuhkan dalam membangun sistem demokrasi. Penguatan kompetensi literasi digital bagi masyarakat yang dilakukan oleh media dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat. Selain itu, melalui Gerakan Literasi Digital untuk Demokrasi (geliatdemokrasi.id) juga berperan mengajak masyarakat untuk lebih berhati-hati mengelola informasi dan memahami fakta agar tidak terjebak dalam polarisasi kebencian karena Geliatdemokrasi.id: Sebuah Konsep Platform Gerakan Pengawasan Pemilu di Media Sosial
Kekacauan informasi politik berupa misinformasi, disinformasi, dan mal-informasi yang seringkali disederhanakan sebagai hoaks politik ini diproduksi dan disebarkan oleh banyak pihak. Pertama, para politisi dan/atau tim kampanye mereka yang punya kepentingan untuk menyerang lawan politik. Kedua, warganet pendukung capres-cawapres yang memuja calon pujaan namun menutup mata pada calon lainnya. Ketiga, media baik media massa konvensional, media baru, maupun media ‘abal-abal’, yang secara sengaja atau tidak sengaja memproduksi atau mereproduksi kekacauan informasi.
Dilansir dari news.detik.com, menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi menunjukkan selama Agustus-Desember 2018 terdapat 62 konten hoaks terkait pemilu 2019, Jika dibiarkan, hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian akan terus menggerogoti praktik demokrasi sehat. Dampak buruknya, konten negatif itu akan melekat sebagai karakter bangsa. Hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian bermuatan politik yang mulai mewabah adalah efek samping dari kebebasan demokrasi di era digital. Kebebasan ini juga turut mentransformasikan cara pandang politik (way of politics) dan cara berpolitik (way of political participation) warga negara yang sekaligus warganet—politik bukan lagi sebuah ideologi tetapi bidang praktis nan taktis untuk meraih dan/atau mendukung kekuasaan dengan cara apa pun.
Media berlangsung baik jika dalam komunikasi politik, media bisa menempatkan diri sebagai saluran netral dalam menyampaikan informasi secara transparan dari satu aktor politik dengan aktor politik lainnya dalam tugasnya melayani kepentingan masyarakat. Sebaliknya, media berlangsung buruk jika media menjadi lebih kuat dari aktor politik lainnya seperti negara dan masyarakat dan lebih berfokus melayani kepentingan pemiliknya dan/atau capital.
Gagasan penulis terkait platform media Gerakan Literasi Digital untuk Demokrasi (geliatdermokrasi.id) selain melakukan program literasi digital secara mandiri, juga akan melakukan kolaborasi dengan media lain, dengan komunitas, ataupun dengan organisasi lain yang sebagian besar berupaya menekan dampak kekacauan informasi di era pascakebenaran. Misalnya bekerja sama dengan KPU, Bawaslu, Kemenkominfo ataupun kanal website terpercaya. Gerakan ini bertujuan untuk mengajak kaum muda/netizen di Indonesia untuk meningkatkan kompetensi literasi digital mereka. Kaum muda yang mempunyai pikiran dan sikap kritis dalam mengelola informasi dianggap sebagai salah satu benteng dalam upaya menangkal kekacauan informasi, baik yang berupa misinformasi, disinformasi, maupun mal-informasi tentang demokrasi.
Gerakan Literasi Digital untuk Demokrasi (geliatdemokrasi.id) merupakan platform media sosial yang berfokus untuk memverifikasi fakta tekait kabar hoaks, mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis informasi tentang kampanye pemilu dan mendistribusikan serta memproduksi konten positif tentang demokrasi khususnya pengawasan pemilu. Selain itu juga kami akan berkolaborasi untuk menyelenggarakan Webinar/Seminar literasi digital untuk demokrasi, cek fakta tentang informasi hoaks dan pelatihan konten kreator pengawasan partisipatif.
Keterlibatan media dalam melakukan program literasi digital menuju tahun politik 2024 akan sangat dibutuhkan dalam membangun sistem demokrasi. Penguatan kompetensi literasi digital bagi masyarakat yang dilakukan oleh media dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat. Selain itu, melalui Gerakan Literasi Digital untuk Demokrasi (geliatdemokrasi.id) juga berperan mengajak masyarakat untuk lebih berhati-hati mengelola informasi dan memahami fakta agar tidak terjebak dalam polarisasi kebencian karena berbeda pilihan politik. Dengan begitu, demokrasi yang damai, yang menjadikan masyarakat bisa hidup bersama meskipun berbeda pilihan, bisa terwujud. Memang tidak mudah dilakukan. Namun perlu disadari bahwa upaya ini untuk meningkatkan kesadaran berpolitik bagi masyarakat luas dalam rangka merawat demokrasi dan memelihara perdamaian.