Nestapa Lansia Miskin di Campalagian, Bertahan Hidup Bersama 2 Anak Yang Gangguan Jiwa

Nestapa Lansia Miskin di Campalagian, Bertahan Hidup Bersama 2 Anak Yang Gangguan Jiwa

CAMPALAGIAN,- Cerita pilu dalam menjalani hidup ini, dijalani Kaissing (65 tahun), Warga Dusun Panggalo, Desa Katumbangan, Kecamatan Campalagian, Polewali Mandar.

Bagaimana tidak, selain akibat belitan kemiskinan yang membuat hidup memprihatinkan, kesabaran Kaissing diuji, lantaran setiap hari harus mengurus  Darwis (35 tahun) dan Lappas (29 tahun), kedua anaknya yang menderita gangguan jiwa sejak usia sekolah dasar.

“ Ya liat sendiri kondisinya nak, keduanya tidak bisa apa-apa, walau sudah pernah dibawa ke rumah sakit jiwa dengan bantuan pemerintah, harapannya bisa sembuh , tetapi kita liatmi, kondisinya masih seperti sekarang “ ungkap Kaissing, saat dijumpai di rumahnya, Jumat (29/03/19).

Kaissing mengaku bingung, pasalnya dengan usianya yang sudah tidak lagi muda, membuatnya kesulitan menghadapi Darwis dan Lappas yang kerap mengamuk tanpa alasan yang jelas.

“ Masih mending kalau seperti sekarang keduanya bisa tenang, tapi kalau penyakitnya kambuh lagi, tidak jarang mereka mengamuk membuat saya kebingungan, mau lagi dibawa ke rumah sakit tapi tidak ada biaya “ sambung Kaissing, lirih.

Wanita yang sudah lama hidup menjanda ini, sebenarnya masih memiliki 3 anak lainnya, namun semuanya telah berkeluarga dan tinggal di daerah lain. Sayang, saat penulis berkunjung, Lappas sedang tidak di rumah.

Sehari-hari Kaissing dan kedua anaknya, tinggal di rumah semi permanen bantuan pemerintah dari program bedah rumah. Sebagian dinding Rumah Kaissing telah menggunakan batu, namun tidak sedikit diantaranya yang masih menggunakan papan seadanya. Tidak jarang Kaissing dan kedua anaknya harus tidur dalam kondisi kedinginan bahkan kehujanan, lantaran masih ada dinding yang belum tertutup kerena kekurangan bahan.

Agar bisa mendapatkan sedikit uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Kaissing mengaku rela bekerja apa saja, termasuk membantu warga di sekitar tempat tinggalnya dengan upah seadanya.

“ Kalau musim panen biasanya saya ikut jadi buruh, atau mengais sisa padi yang terbuang bersama ampasnya, biasa juga saya ikut bantu warga menjahit atap rumbia dengan upah 500 rupiah per atap, dalam sehari saya bisa menjahit 10 atap rumbia “ jekas Kaissing dengan mata berkaca-kaca.

Dengan kondisi sekarang ini, Kaissing mengaku mengandalkan hidup dari bekas kasih warga, lantaran semakin sulitnya mengumpulkan sisa padi untuk dijadikan uang, serta sudah sangat jarang warga yang membutuhkan tenanganya menjahit atap dari daun rumbia karena semuanya telah beralih menggunakan atap seng.

Kendati hanya dapat pasrah dengan kondisi hidup yang harus dijalaninya sekarang ini, Kaissing selalu berdoa kedua anaknya sembuh dari penyakit yang dideritanya, agar kelak mereka dapat berjuang sendiri melanjutkan hidup.

“ Ituji yang kupikir karena saya ini sudah tua, semoga Darwis dan Lappas bisa sembuh supaya nanti keduanya bisa mengurus diri masing-masing “ harap Kaissing. (Thaya)

__Terbit pada
29/03/2019
__Kategori
kesehatan, Sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *