Achmadi Touwe. (ist)

PENYEBAB MALPRAKTIK PEMILU

Oleh, ACHMADI TOUWE,
Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kabupaten Polewali Mandar.

DARI hasil pantauan dan pengamatan Pemilu 2024, Kabupaten Polewali Mandar, ada tiga penyebab mengapa praktik kecurangan (malpraktik Pemilu) terus mengancam pada penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sarah Birch, profesor ilmu politik di King’s College London, Inggris, bahwa “malpraktik pemilu merupakan tindakan manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilu sehingga kepentingan publik digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut.”

PERTAMA, adanya Relasi Patronase yang sangat kuat di antara para penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih. Ketiga kepentingan ini (Patronase politik) berjalan dalam fase waktu yang bersamaan pada ruang yang berbeda dalam penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang akan dan telah memberikan dukungan elektoral.

Setiap peserta pemilu merasa perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh. Relasi yang terbangun ini menggunakan hal-hal material dan immaterial sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Aspek material adalah biaya politik; sementara immaterial berupa hubungan yang bersifat sosial dan kultural yang disebabkan karena kekerabatan ataupun hubungan kedekatan secara personal.

KEDUA, Sistem Pemilu yang sementara digunakan mendorong peserta pemilu (meski tidak semua) menghalalkan segala cara untuk menang. Hal demikian dikarenakan “sistem pemilu legislatif Indonesia adalah open list proporsional representation” yaitu seorang calon anggota legislatif (caleg) dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya, yang telah terbagi ke dalam daerah pemilihan (dapil).

Sistem ini tela mendorong para caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, dengan mengabaikan edukasi politik terhadap calon penilih. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras.

Caleg yang memiliki sumberdaya politik (uang) berpotensi melakukan money politic untuk meraih suara terbanyak dari lawannya sesama partai, ketimbang lawan dari partai lain.

Klaim kehilangan sejumlah suara di sebuah tempat pemungutan suara (TPS). Tudingan penggelembungan suara di beberapa titik TPS, sehingga dilakukan penghitungan suara ulang. Dan ini “akibat sistem proporsional terbuka” dengan berbagai keruwetannya, yang lagi-lagi menelan korban jiwa. Politik uang yang sangat tidak mengedukasi. Lalu apakah sistem proporsional terbuka ini masih efektif digunakan ??

Kemudian kita melihat model sistem tertutup (yang pernah digunakan di Indonesia sebelum Pemilu 2004) bahwa terpilihnya seorang caleg ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. Bukan dengan peraih suara terbanyak di partainya. Bisa jadi dengan sistem ini, malpraktik dapat diminimalisir. Jual beli suara sudah pasti bisa dihilangkan diantara para peserta pemilu (caleg) dengan pemilih. Lalu kenapa bukan ini yang digunakan ??

KETIGA, “sistem pendukung” yang masih lemah dalam pemilu kita. Hal ini dapat membuka peluang terciptanya manipulasi suara yang diakibatkan pada data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. Ini tidak didukung dengan sistem yang baik.

Perbaikan penyelenggaraan pemilu kita sebenarnya telah berupaya agar proses pelaksanaan pemilu dapat bekerja transparan dan akuntabel. KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki sistem pengendalian dan pengawasan kepada seluruh aparat di bawahnya, namun, ancaman malpraktik kerap terjadi karena para peserta pemilu yang merasa perlu untuk “mengotak-atik” proses demi keuntungan pribadi dan kelompoknya yang harus melibatkan para penyelenggara pemilu.

Dari berbagai kajian terkait dengan malpraktik pemilu yang sedang berkembang di dunia seperti yang telah dikatakan oleh Sarah Birch, dan berbagai studi telah mengidentifikasi adanya manipulasi terhadap hasil pemilu di Indonesia dengan titik tekan yang berbeda. Sebagaimana, Mada Sukmajati dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan telah ditunjuk oleh KPU sebagai panelis debat perdana Capres-Cawapres tahun 2024. Beliau, menjelaskan bahwa “jual beli suara (vote buying) yang terjadi di banyak tempat di Indonesia disebabkan oleh ikatan-ikatan yang terjalin antara peserta pemilu dan kelompok pemilih”. Hal yang sama juga terjadi melalui relasi dan kedekatan antara caleg dengan para penyelenggara pemilu.

Salah satu aspek penting dalam manipulasi adalah arus uang dalam pemilu. Seorang caleg, misalnya, harus mempersiapkan sejumlah uang untuk menyuap petugas dalam memanipulasi hasil pemilu, baik di level TPS hingga kabupaten/kota tempat proses rekapitulasi penghitungan suara masih dapat diganggu. Untuk melakukan tindakan manipulasi, para aktor ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tentu ketika para aktor ini berhasil, maka dampaknya sangat besar selama 5 tahun.

Lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di mana ??. DKPP selalu mengingatkan dalam aspek integritas, kasus-kasus yang menyangkut kemandirian dan profesionalitas para penyelenggara pemilu, namun sama saja, dan tidak berkurang sama sekali.

Hal ini bisa dilihat antara tahun 2018 dan 2019, ada 1.030 kasus pengaduan yang diterima oleh DKPP. Sebanyak 650 kasus disidangkan dan 144 orang penyelenggara pemilu diberhentikan tetap.

Hari ini, tinggal menghitung hari, hasil Pemilu akan ditetapkan secara nasional, dengan catatan malpraktiknya.

Ketiga ancaman Pemilu di atas, hanya dapat teratasi jika para penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih memiliki tekad kuat untuk tidak melakukan tindakan curang sekecil apapun.

Untuk meminimalisir praktik kecurangan pemilu, publik, lewat lembaga masyarakat sipil ataupun media massa, bisa dan harus terus memperkuat pemantauan penyelenggaraan pemilu di semua tingkatan sehingga para kandidat dan para penyelenggara pemilu kesulitan untuk berkongsi dalam melakukan kecurangan. (*)

__Terbit pada
03/03/2024
__Kategori
Opini