
Tentang Gadis Pemungut Buah Kapuk di Tapango, Bercita-cita Jadi Kowad, Setiap Malam Belajar Gunakan Pelita
TAPANGO,- Seorang gadis remaja sedang duduk di lantai rumahnya, membuka lembar demi lembar buku pelajaran. Di depannya ada dua pelita, dengan cahaya remang menyinari ruang rumahnya berukuran 6×6 meter. Sesekali gadis remaja ini mengibaskan tangannya, sekedar untuk menepis asap hitam yang kerap membuat kedua matanya perih.
Gadis remaja ini bernama Yulianti (17 tahun), warga Desa Tapango, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar.
Setiap malam, gadis yang baru duduk di bangku kelas 1 sekolah menengah atas ini, mengandalkan pelita sebagai alat penerang untuk belajar, lantaran rumahnya tidak memiliki sambungan listrik, “ Sudah sangat lama seperti ini, jadi setiap malam harus pakai pelita sebagai penerang, “ kata Yulianti kepada wartawan di rumahnya, Senin (07/12/2020) malam.
Yulianti yang menggemari mata pelajaran bahasa indonesia, sejarah dan olah raga, mengaku tidak dapat berbuat banyak, agar rumahnya dialiri listrik. Penghasilan ibunya sebagai buruh serabutan, diakui terkadang tidak cukup untuk penuhi kebutuhan hidup sehari-hari, “ Itupun setiap hari harus saya bantu dengan ikut bekerja memungut buah kapuk, “ tututnya sembari membuka buku pelajaran.
Walau sudah terbiasa belajar mengunakan pelita, Yulianti mengaku sering kali harus menahan rasa sakit. Asap yang ditimbulkan pelita berbahan bakar minyak solar, kerap membuat matanya terasa perih, “ Mau bagaimana lagi, saya harus terus belajar, jadi sakitnya harus ditahan, “ ungkap Yulianti yang bercita-cita menjadi tentara (Kowad).
Beruntung, semangat Yulianti untuk terus belajar demi mewujudkan cita-citanya, tidak pernah padam walau dalam kondisi terbatas. Ia tidak patah semangat, kendati sejak pandemi virus corona melanda, proses pembelajaran dilakukan menggunakan metode daring (dalam jaringan), mengharuskan setiap anak menggunakan hand phone (HP) , untuk mengikuti proses belajar.
“ Ya mau tidak mau terpaksa pinjam HP milik teman. Untung teman-teman baik, mau meminjamkan telepon genggam miliknya, “ ungkap Yulianti sembari tersenyum.
Namun demikian, Yulianti mengaku kerap merasa resah, jika harus terlambat pulang ke rumah, lantaran lama menunggu temannya yang meminjakam HP, “ Kasihan kalau saya terlambat pulang ke rumah, soalnya saya harus membantu mama mengumpulkan buah kapuk sebagai bekal hidup sehari-hari. Tapi mau bagaimana lagi, HP teman baru bisa saya pakai setelah mereka selesai mengerjakan tugas, “ tuturnya lirih.
Sementara itu sang ibu Sukma Damayanti (45 tahun) mengungkapkan, anaknya pernah menabung dengan harapan bisa membeli HP. Namun malang, uang yang terkumpul dengan menyisihkan sebahagian pendapatan menjual buah kapuk, habis saat dirinya jatuh sakit, hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit, “ Kasian pak, dulu sudah mau beli HP, tapi uangnya habis saya pakai berobat waktu masuk di rumah sakit, “ terang Sukma dengan mata berkaca-kaca.
Sukma mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk meringankan beban yang dihadapi anaknya. Tidak jarang penghasilan yang diperoleh dari hasil menjual buah kapuk, habis dipakai membayar utang, “ Ini saja kapuknya saya pakai untuk bayar utang minyak solar buat pelita, agar Yulianti dapat terus belajar, “ tutupnya sembari menghela nafas.
Selama ini Yulianti dan ibunya Sukma Damayanti, hanya tinggal berdua, dalam rumah serdehana yang dibangun dengan bantuan pemerintah melalui program bedah rumah. Sehari-hari keduanya bertahan hidup mengandalkan penghasilan sebagai penjual buah kapuk.
Untuk sekarung buah kapuk yang dikumpulkan selama 4-5 hari, dijual seharga 50 ribu rupiah. Tidak jarang ibu dan anak ini, harus bejalan masuk ke hutan, demi mengumpulkan buah kapuk. Jika tidak ada buah kapuk yang terkumpul, baik Yulianti maupun ibunya, kerap bekerja sebagai buruh pembersih kebun warga, dengan upah seadanya.
Sebenarnya Yulianti memiliki tiga saudara. Dua diantaranya pergi bersama sang ayah saat usia Yulianti masih sangat belia, dan tidak pernah memberi kabar sampai sekarang, sementara seorang saudara lainnya telah berkeluarga dan tinggal di tempat lain.
Kendati setiap hari harus menjalani hidup dengan kondisi memprihatinkan, Yulianti dan ibunya mengaku bersyukur, lantaran Tuhan masih memberi kesehatan dan kekuatan, sehingga keduanya dapat terus bekerja untuk menyambung hidup.(Thaya)







