M Danial (dok)

Pesona Uang

Oleh, M Danial

SEKELOMPOK emak-emak sedang berbincang serius. Awalnya hanya membincang kenaikan harga berbagai kebutuhan yang makin tak terjangkau. Perbincangan makin seru mengenai pilkada. Mereka menyebut pendataan pilkada. Tapi bukan pendaftaran pemilih yang dilakukan Pantarlih.

“Semua anggota keluarga di rumahku saya sampaikan, tapi yang didata hanya yang punya KTP. Saya ji dan bapaknya,” ungkap seorang ibu.

“Memang yang didata hanya orang dewasa, wajib pilih saja,” jelas ibu yang menjadi “bintang” persamuhan itu. Pendataan yang mereka bahas dilakukan oleh tim sukses Paslon Pilkada.

Pilkada serentak 27 November makin dekat. Sebagaimana Pemilu yang lalu, menjadi kesempatan bagi masyarakat memperoleh pendapatan tambahan. Tidak semua warga, tapi kebanyakan. Pun yang berekonomi mapan.

Menjelang pemilu dan Pilkada menjadi masa-masa penuh pesona. Uang bertebaran menyapa warga. Menembus sudut-sudut perkampungan, maupun permukiman di perkotaan. Pendataan oleh tim sukses Paslon untuk bagi-bagi uang sebelum hari pencoblosan. Serangan fajar.

Pilkada menjadi masa-masa yang dinantikan banyak warga. Menyambut kedatangan tim sukses Paslon seperti Santa Claus dadakan. Membawa amplop uang dan membagikannya dengan senyum lebar. “Jangan lupa nomor sekian,” pesan para tim sukses, mengingatkan.

Amplop berisi rupiah yang disebar ke rumah-rumah menenggelamkan visi misi Paslon. Uang yang dibagikan umumnya lembaran warna biru (Rp50.000) dan merah (Rp100.000). Satu lembar sampai berlapis-lapis lembar.

Tak bisa dipungkiri uang menjadi “bintang” bagi sebagian pemilih setiap menjelang pemilu dan Pilkada. Fenomena yang sama terjadi pada perhelatan politik tingkat desa: pilkades. Jika perhelatan itu diibaratkan panggung teater, maka uang menjadi aktor yang selalu memainkan peran utama. Para Paslon dan tim kampanye boleh berkoar-koar mengenai perubahan, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat. Tapi yang lebih memikat pemilih adalah lembaran rupiah dalam amplop bergambar paslon atau nomor urut paslon.

Saat Paslon berkampanye, penilaian masyarakat bukan pada program kerja yang ditawarkan. Atau soal kemampuan kepemimpinan, integritas, dan rekam jejak Sang kandidat. Itu model klasik. Yang dibutuhkan adalah uang. Visi misi tidak penting. Yang penting amplopnya, karena setelah terpilih rakyat terlupakan. “Ada uang ada suara,” begitulah falsafah banyak orang di masa Pilkada.

Pesona uang tidak hanya terbatas pada uang tunai. Melainkan juga materi lainnya. Para kandidat dan tim suksesnya pun makin kreatif untuk menyentuh pemilih. Pembagian sembako merupakan startegi para ‘Santa Claus’ dadakan untuk merayu pemilih.

Kantongan berisi beras, minyak goreng, terigu, sampai mie instan. Merupakan paket favorit yang menjadi pesona dan selalu dinantikan. Masyarakat paham paket sembako tidak seberapa nilainya. Dibanding masa depan daerah yang tergadaikan. Tapi mereka tak peduli. Sekali lagi: ada uang atau sembako, ada suara.

Selalu terdengar pentingnya pendidikan politik. Supaya pemilih cerdas dan kritis memastikan pilihan. Tapi menjadi tertawaan karena praktik money politics yang makin merajalela. Membuat rakyat tak butuh pendidikan politik. Bagi mereka tidak penting visi misi dan kualitas kandidat. Yang penting adalah uang. Mengapa harus memeras otak jika sudah ditawari amplop.

Lagi pula, mengapa harus pusing memikirkan janji-janji kampanye? Bukankah lebih baik menerima yang sudah nyata daripada berharap janji yang entah kapan terwujud? Lantaran pesona uang juga, sebagian orang menerima pembagian uang dari semua kandidat. “Ambil uangnya, pilihan di bilik suara itu nanti. Siapa pun yang terpilih, kita tetap sebagai rakyat.”

Tak dipungkiri bahwa money politics merusak demokrasi. Tapi tanpa uang, sangat mungkin Pilkada atau pemilu lesu. Membosankan. Para pemilih bersemangat datang ke TPS karena menerima amplop. Itu membuktikan uang memiliki pesona energi yang kuat.

Fenomena tersebut menunjukan pula bahwa demokrasi bukan sekadar soal suara, tapi juga soal ekonomi. Siapa yang bisa merangsang ekonomi masyarakat selain para kandidat yang menjadi dermawan? Kita patut berbangga karena di negara kita pemilu atau Pilkada bukan hanya ajang pemilihan semata. Melainkan juga sebagai ajang mendistribusi “rezeki” sesaat.

Masa depan daerah? Banyak yang bilang itu urusan nanti. Yang penting sekarang bagaimana menikmati pembagian para tim sukses yang berjuang demi suara. Jika kandidat setelah terpilih menjadi pemimpin hanya sibuk dengan kepentingannya. Melupakan janji-janji kampanyenya, toh dalam lima tahun ke depan akan kembali lagi siklus yang sama. Pesona uang akan kembali menyapa rakyat.

Begitulah perhelatan demokrasi yang bernama Pilkada di masa kini. Money politics bukan sekadar praktik ilegal. Tapi menjadi kelaziman yang sulit dihilangkan. Sudah menggerogoti perjalanan kehidupan dari generasi ke generasi.

Dalam setiap amplop berisi uang yang disebar kepada rakyat, secara tidak langsung mengabarkan bahwa pemilu atau Pilkada sudah menjadi komoditi jual-beli (suara). Masa depan daerah menjadi identik dengan nominal rupiah. Pilkada identik dengan uang, dan uang adalah raja yang pesonanya menaklukkan.

Saya tetiba teringat istilah peluru yang kerap disebut para tim sukses. Istilah peluru adalah semacam sandi logistik money politics. (*)

__Terbit pada
15/10/2024
__Kategori
Opini