
Pasutri Lansia Hidup Penuh Cinta di Tengah Hutan
Catatan M Danial
HIDUP di tengah hutan bukan sesuatu yang mudah. Terlebih bagi yang kondisinya sudah tidak prima. Namun, sepasang suami-istri yang sudah berusia lanjut (lansia), Kallotong (80 tahun) dan Mulia (70) menjalaninya dengan tenang. Keduanya terlihat hidup penuh cinta di tengah hutan di Desa Arabua, Kecamatan Tubbi Taramanu, Kabupaten Polewali Mandar.
Menempati sebuah gubuk reot 3 x 3,5 meter di tengah hutan. Terselip di antara kebun di lokasi yang curam, sekira 500 meter dari permukiman penduduk. Sudah dua puluhan tahun keduanya menjalani hidup memprihatinkan karena kemiskinan. Kallotong mengatakan, awalnya memilih bertempat tinggal di sana sejak awal 1988 dengan harapan kehidupannya bisa berubah menjadi lebih baik.
“Sudah dua puluhan tahun tinggal di sini, berdua. Kami memilih tinggal di sini karena berharap hidup lebih baik. Ternyata kondisi kami tidak berubah sampai sekarang ini,” ujar Kallotong, saat dikunjungi, Selasa 11 Januari. Tempat tinggalnya berada di sisi tebing yang curam. Dijangkau dengan berjalan kaki sekira satu kilometer di sela-sela pepohonan hutan yang sebagian sudah berubah menjadi tanaman kakao.
Pasutri lansia itu memiliki sepetak lahan yang ditanami kakao dan ubi kayu. Tanaman itulah yang menjadi harapannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, hasilnya tidak bisa diharap. Menurut Kallotong, tanamannya kerap diserang hama. “Kita selalu didahului (hama) tikus. Ubi kayu juga menjadi sasaran babi hutan,” ujarnya. Dengan nada pasrah, ia mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk merawat kebunnya. Lantaran tenaganya tidak sekuat dulu lagi. Bahkan, sudah sakit-sakitan. Penglihatannya pun sudah sangat terbatas.
Beban hidup Kallotong makin berat, lantaran mengambil alih semua urusan rumah tangga, termasuk merawat sang istri, Mulia yang sudah tiga tahun sakit-sakitan. Indra penglihatan dan pendengarannya sudah tidak berfungsi normal sejak beberapa tahun. Dengan kondisi seperti itu, Kallotong harus merangkap tugas memasak, mencuci, dan membersihkan gubuk reotnya. Juga, mengurusi kebun memanfaatkan sisa-sisa tenaganya. Kerap juga harus ke kampung membeli kebutuhan sehari-hari.
“Ya, mau bagaimana lagi, saya hanya selalu berdoa supaya bisa berusaha mengurusi semua sebisanya. Tidak ada yang kami harapkan bisa membantu,” ungkap Kallotong, dengan nada lirih. Sebenarnya pasutri lansia itu mempunyai tiga anak. Dua anaknya perempuan sudah menikah, sedangkan seorang anak laki-laki merantau ke Malaysia. Anak perempuannya seringkali mengajak meninggalkan gubuk reot tersebut. Namun, Kallotong dan istrinya menolak dengan alasan tidak mau merepotkan anaknya yang hidupnya pas-pasan juga.
Apakah pernah menerima bantuan dari pemerintah ? Kallotong mengatakan, pernah mendapat bantuan berupa uang. Rupanya, yang diterima keluarga miskin itu Bantuan Langsung Tunai (BLT) semasa pandemi Covid-19. Uang tersebut, dipakai membeli beras. “Pernah ada uang diberikan untuk beli beras. Saya pakai juga untuk beli ikan, garam, beli juga minyak solar untuk menyalakan pelita kalau malam,” jelasnya. “Kami menjalani hidup seadanya. Biasa hanya makan nasi, pakai sayur daun ibu sekaligus sebagai lauk. Pakai garam untuk menambah rasa, karena tidak ada ikan,” terangnya.
Sejak penglihatan istrinya terganggu sampai tidak berfungsi, Kallotong mengatakan tidak pernah diperiksakan ke dokter karena tidak mempunyai uang. Apalagi, lokasi gubuknya sangat sulit untuk ke kampung terdekat. Untuk naik kendaraanpun, Mulia tidak terbiasa. Mabuk kendaraan. “Sudah tiga tahun dia buta kedua matanya. Tidak pernah diperiksakan ke dokter karena tidak ada uang. Sulit juga untuk ke kampung, apalagi untuk naik kendaraan. Dia mabuk,” tutur Kallotong.
Untuk memudahkan istrinya turun dari rumah, misalnya untuk mandi atau berwudhu, Kallotong membuat pegangan dari bambu dan memasang kayu semacam papan seadanya. Yang menjadi jejakan kaki sang istri menuju sumur di samping gubuknya.
Pasutri miskin itu mengaku selalu dihantui rasa takut gubuknya ambruk, lantaran sebagian tiangnya terancam patah karena lapuk. Kallotong pun kerap menguras sisa tenaga mencari kayu dan memikulnya untuk menopang tiang gubuk. Atau untuk menyanggah lantai yang sudah bolong. Tidak jarang keduanya harus menghabiskan malam dalam kondisi basah kuyup, lantaran sebagian atapnya bocor.
Meski hidup dengan kondisi memprihatinkan lantaran dibekit memiskinan, Kallotong dan Mulia merasa bersyukur bisa menjalaninya. Keduanya bertekad selalu saling menyayangi, sambil terus berdoa Tuhan memberi kekuatan menjalani hidup penuh cinta hingga akhir di usia senja. (*)







