
ODGJ Putus Obat, Saya Diancam Dibunuh
Oleh: Fredy Akbar K., S.Kep., Ns., M.Kep.
(Dosen Keperawatan Jiwa dan Pemerhati Kesehatan Komunitas)
Hari ini saya menulis dalam kondisi psikis yang terguncang. Bukan karena profesi saya sebagai dosen, bukan karena tugas akademik atau beban pekerjaan tapi karena sebuah ancaman pembunuhan yang saya terima dari seorang pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), yang saya kenal sebagai pasien rawat jalan dari RSUD Hajja Andi Depu di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.
Pasien tersebut diketahui sudah putus obat selama 6 bulan. Ia meyakini dalam delusi beratnya bahwa saya menjalin hubungan khusus dengan istrinya. Tuduhan ini tidak berdasar dan sepenuhnya mengada-ada.
Namun yang membuat saya benar-benar khawatir adalah ancaman eksplisit untuk membunuh saya, yang ia sampaikan melalui akun palsu di media sosial secara terus-menerus.
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar tahun 2024, terdapat hampir 1.000 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di wilayah ini. Sebagian besar merupakan pasien ODGJ berat dengan gangguan psikotik, dan hanya sekitar 40% yang tercatat rutin dalam pengobatan dan pemantauan.
Bahkan, beberapa insiden serius yang melibatkan ODGJ sudah pernah terjadi di Polman. Salah satunya adalah kasus tragis beberapa bulan lalu di Wonomulyo, ketika seorang ODGJ yang telah putus obat membacok warga hingga tewas. Ada juga ODGJ yang menganiaya tetangga, hingga kasus pemasungan karena keluarga tidak sanggup lagi menangani pasien yang kambuh.
Semua ini bukan sekadar cerita. Ini adalah alarm keras bahwa kita bukan kekurangan kasus kita kekurangan respons yang sistemik, manusiawi, dan berkelanjutan.
Saya menjadi sasaran teror, tanpa perlindungan, tanpa sistem pemantauan yang jelas. Dan lebih dari itu saya menjadi saksi betapa rapuhnya sistem kita dalam menangani ODGJ berisiko tinggi yang telah lepas dari kontrol pengobatan.
Sebagai dosen keperawatan jiwa yang aktif mendampingi masyarakat, saya paham betul bahwa ODGJ bukan musuh. Mereka adalah manusia yang sedang sakit, yang bisa pulih bila diberi pengobatan dan dukungan yang layak.
Tapi ketika ODGJ dibiarkan begitu saja, tanpa pengobatan, tanpa pemantauan, tanpa perlindungan terhadap orang di sekitarnya, maka ancaman bisa berubah menjadi tragedi.
Saya tidak ingin menjadi korban berikutnya. Dan saya tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama teror, ketakutan, dan ancaman dari seseorang yang seharusnya ditangani secara medis dan sosial.
Ini bukan hanya soal saya. Ini soal kegagalan kita sebagai sistem. Mengapa tidak ada pemantauan dari Puskesmas? Mengapa pasien rawat jalan yang sudah putus obat berbulan-bulan tidak terdata? Di mana pengawasan dari rumah sakit, dari dinas kesehatan, dari desa ?
Saya tidak sedang mencari kambing hitam. Saya mencari keberanian kita semua untuk jujur mengakui: sistem kita belum siap menghadapi ODGJ yang berisiko tinggi.
Saya sudah mengambil langkah hukum, mengumpulkan bukti, dan akan melaporkan ini kepada pihak berwajib. Tapi saya yakin, banyak kasus serupa yang tidak terdengar karena para korban diam.
Karena itu, saya menulis opini ini bukan untuk memojokkan siapa pun, tetapi sebagai bentuk panggilan moral dan intelektual. Mari kita bergerak bersama:
1. Bentuk Satgas Jiwa di setiap desa.
2. Aktifkan sistem pelacakan pasien rawat jalan ODGJ.
3. Sediakan jalur darurat pengaduan dan perlindungan korban.
4. Berikan pelatihan krisis kepada keluarga dan kader.
5. Dan yang paling penting: jangan biarkan ODGJ dibiarkan sendiri mereka butuh kita, dan kita juga butuh aman.
Saya percaya pada pemulihan. Saya percaya pada sistem jika dijalankan dengan hati dan keberanian. Tapi saya juga percaya bahwa tidak ada keselamatan tanpa kesadaran.
Hari ini saya bersuara karena saya masih hidup. Semoga esok, tak ada lagi korban yang harus diam karena sistem lalai hadir.
—Fredy Akbar K. adalah dosen keperawatan jiwa, Ketua Yayasan Mandar Indonesia, dan pendamping program kesehatan jiwa komunitas di Sulawesi Barat—