
O D G J
M Danial
Kondisinya sangat memprihatinkan. Sekaligus menyedihkan. Tubuhnya kurus. Duduk di lantai dengan kaki kiri terjulur pada lubang papan tebal di samping kirinya. Pergelangan kakinya terlilit rantai besi yang terikat ke balok di lantai. Sudah belasan tahun dijalani. Dipasung karena dicap mengidap gangguan jiwa. ODGJ (orang dengan gangguan jiwa).
Pemasungan pria berusia sekira 50 tahun itu dilakukan di bagian belakang rumah orang tuanya. Rumah panggung berlantai papan yang terletak di Dusun Sambali-wali, Kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali Mandar. Pria malang itu pernah merantau ke Malaysia. Sepulang dari negeri jiran, perilaknya mengalami kelainan. Kerap melakukan perusakan, bahkan pernah menyebabkan terjadi ebakaran empat rumah di kampungnya.
Ibunya, Sima’ yang sudah lansia dan mengurusi selama ini, sakit-sakitan pula. Kekinian, sang ibu terbaring tanpa daya di tempat tidurnya. Sudah beberapa hari sakit. Tidak bisa mengurusi putranya yang berada dalam pasungan.
Sejak tahun 2014, pemerintah secara resmi menyerukan pencegahan pemasungan terhadap ODGJ. Mereka harus diperlakukan dengan baik sebagai warga masyarakat. Tidak boleh ada pemberian label atau stigmatisasi dan perlakuan yang bersifat diskriminasi. Pemasungan bukan hanya tidak menyelesaikan masalah. Tapi juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Undang-undang yang terkait dengan kesehatan mengatur perlakuan yang semestinya terhadap ODGJ. Yaitu, UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Fenomena di masyarakat selama ini, terutama di perdesaan, stigmatisasi dan diskriminasi sangat sering terjadi terhadap ODGJ. Bahkan, dianggap lumrah sebagai solusi. Label menderita kelainan jiwa hanya didasarkan anggapan masyarakat dan lingkungan. Bukan hasil pemeriksaan medis secara komprehensif. ODGJ diperlakukan berbeda dengan warga masyarakat pada umumnya. Lantaran stigma ODGJ, yang pekerja diberhentikan dari pekerjaan. Yang bersekolah dikeluarkan dari sekolah. Ada yang diceraikan pasangan hidupnya, ditelantarkan keluarganya. Pemasungan dianggap sebagai solusi, namun tidak menyelesaikan masalah.
Dikutip dari situs sehatnegeriku.kemenkes.go.id (11/10/2014) pemerintah melalui Menteri Kesehatan meminta seluruh jajaran kesehatan melaksanakan “Seruan Nasional Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap ODGJ”.
Seruan nasional itu terdiri empat butir. Kesatu, tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi kepada siapapun dalam pelayanan kesehatan. Kedua, tidak menolak atau keengganan memberi pelayanan kesehatan kepada ODGJ. Butir ketiga, senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pascaperawatan di rumah sakit atau di panti sosial. Butir keempat, melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan jiwa, serta mencegah timbulnya dampak psikososial.
Pemasungan ODGJ oleh keluarganya adalah bentuk diskiriminasi yang berpotensi menjadi pelanggaran HAM. Tercantum dalam Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memeroleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Penanganan ODGJ dengan cara sesuai aturan dan mencegah pemasungan, membutuhkan kesungguhan pemerintah dan kepedulian aparat di tingkat bawah. Untuk mengajak masyarakat melakukan upaya bersama, terutama mencegah stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODGJ. Kepedulian harus disertai komitmen yang serius melakukan langkah preventif, promotif, sampai rehabilitatif soal ODGJ. Bukan sekedar seremoni pencanangan daerah bebas pemasungan ODGJ, tapi faktanya pemasungan tetap berlabgsung di banyak tempat. (*)