Foto Fredy Akbar K., S.Kep., Ns., M.Kep. (ist)

Model Resiliensi Mental Remaja, Menjauhkan dari NAPZA: HANI 2025 Katumbangan sebagai Model Intervensi Pencegahan

Oleh: Fredy Akbar K., S.Kep., Ns., M.Kep

Dosen Keperawatan Jiwa, Institut Hasan Sulur- Ketua Yayasan Mandar Indonesia

Remaja merupakan kelompok usia yang berada pada masa transisi kritis, penuh tantangan emosional, sosial, dan kognitif. Di sinilah banyak keputusan awal terbentuk, termasuk keputusan yang membawa risiko seperti penggunaan zat adiktif (NAPZA). Maka penting bagi kita untuk tidak hanya menegakkan larangan, tetapi menanamkan daya tahan dalam jiwa mereka sejak dini.

Ketahanan jiwa atau resiliensi mental adalah kemampuan seseorang, dalam hal ini remaja, untuk menghadapi tekanan hidup, bangkit dari kegagalan, dan mampu bertahan tanpa memilih jalan pintas yang merusak diri. Inilah prinsip yang mendasari pelaksanaan kegiatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2025 yang kami laksanakan di SMP Satu Atap Katumbangan, Polewali Mandar.

Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara mahasiswa Praktik Lapangan KOMKELGER Institut Hasan Sulur, BNN Kabupaten Polewali Mandar, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, serta Yayasan Mandar Indonesia. Kolaborasi ini menjadi bentuk nyata sinergi antara akademisi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat dalam menghadirkan solusi promotif-preventif.

Dengan tema “Remaja Sehat Jiwa, Sekolah Tangguh Anti-NAPZA”, kegiatan dirancang tidak hanya sebagai agenda seremoni tahunan, tetapi sebagai model intervensi kesehatan jiwa komunitas berbasis sekolah, dengan pendekatan ilmiah, reflektif, dan partisipatif.

Salah satu komponen penting kegiatan ini adalah pelaksanaan skrining kesehatan mental menggunakan instrumen SDQ (Strength and Difficulties Questionnaire) dan skrining risiko penyalahgunaan NAPZA menggunakan ASSIST. Sebanyak 107 siswa terlibat aktif dalam proses ini.

Hasil skrining menunjukkan bahwa beberapa siswa telah memiliki keterpaparan terhadap zat seperti tembakau dan alkohol, meskipun masih dalam kategori rendah hingga sedang. Namun, keberadaan paparan ini tetap menjadi sinyal penting untuk intervensi lebih lanjut, karena dapat berkembang menjadi risiko yang lebih berat jika diabaikan.

Sementara dari hasil SDQ, terlihat bahwa lebih dari seperempat siswa menunjukkan gangguan pada aspek emosi, hubungan sosial, dan perilaku, yang memperlihatkan adanya kebutuhan untuk dukungan psikososial yang lebih terstruktur dan berkelanjutan di sekolah.

Kondisi ini menjadi cerminan nyata bahwa penyalahgunaan zat tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh di lahan subur ketika remaja mengalami tekanan tanpa pegangan, lingkungan yang tidak suportif, serta kurangnya ruang berekspresi dan mencari bantuan.

Melalui kegiatan ini, para siswa tidak hanya dikenalkan pada bahaya narkoba, tapi juga didampingi dalam mengenali kondisi emosi mereka sendiri. Mahasiswa keperawatan bertindak sebagai fasilitator, membangun dialog yang setara dengan para siswa, sekaligus menjadi penghubung informasi kepada tenaga kesehatan dan guru.

Sesi deklarasi bersama dan penggeloran Mars BNN menjadi momen simbolik yang kuat bahwa sekolah ini, siswa ini, dan masyarakat ini menolak narkoba, dan siap menjaga komunitasnya bersama-sama.

Yang paling menyentuh adalah sesi “Malam Renungan Jiwa”. Pada malam hari, para peserta diajak menengok ke dalam dirinya. Renungan dibacakan oleh seniman lokal, dilanjutkan refleksi bersama, dan penandatanganan poster deklarasi anti-NAPZA oleh siswa, mahasiswa, dan masyarakat. Ini bukan sekadar simbol, tapi ikrar moral kolektif.

Sebagai Dosen Keperawatan Jiwa, saya menyaksikan langsung betapa kegiatan seperti ini menyentuh dua dimensi sekaligus: edukasi dan emosi. Banyak siswa yang awalnya tertutup, mulai berbagi cerita. Banyak guru yang mulai bertanya, bagaimana mendampingi siswa lebih baik ke depan.

Sebagai Ketua Yayasan Mandar Indonesia, saya melihat potensi besar dari kegiatan ini untuk dijadikan model praktik baik (best practice) dalam pendidikan karakter dan kesehatan jiwa remaja. Desa lain, sekolah lain, bisa menyesuaikan pendekatan serupa.

Kegiatan ini juga menegaskan bahwa penanganan isu narkoba harus lintas sektor, lintas pendekatan, dan lintas generasi. Tidak bisa satu institusi saja bergerak. Dibutuhkan cinta kolektif seperti yang kami bangun di Katumbangan untuk menjaga generasi muda tetap waras dan waspada.

Karena sejatinya, remaja yang tangguh jiwanya, tidak mudah menyerah dan tidak mudah tergoda oleh jalan pintas yang menghancurkan masa depannya. *

__Terbit pada
22/06/2025
__Kategori
Opini