POLEWALI MANDAR, – Perempuan bernama Abigail Lomo (48) di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, berusaha menjaga lingkungan dengan mendorong warga menerapkan pertanian alami dengan memanfaatkan pupuk organik. Upayanya dimulai dengan memperkenalkan eco enzyme kepada warga.
Abigail merupakan warga Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Wonomulyo. Dia berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Saat ini, Abigail bertugas sebagai penyuluh pada Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Polman.
Kecintaan Abigail kepada lingkungan telah tumbuh sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah. Dia mengaku kerap memanfaatkan waktu liburnya dengan bermain di sawah.
Kala itu, Abigail mengaku mulai prihatin melihat masifnya penggunaan pupuk kimia untuk lahan pertanian yang berpotensi mencemari lingkungan.
“Karena saya lihat aliran sungai yang masuk ke sawah tercemar, ada limbah, kasihan petani, dari situ saya mulai berfikir bagaimana caranya agar sawah-sawah petani ini tidak tercemar dan tidak bergantung pada pupuk kimia,” kata Abigail kepada wartawan. Minggu (20/04/2025).
Seiring berjalannya waktu, Abigail memutuskan fokus belajar tentang tanaman. Dia lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar, mengambil jurusan agronomi tentang pengelolaan tanaman di lahan pertanian.
“Saya tertarik sama tanaman, rekayasa tanaman, budidaya tanaman, saya senang pelajari, makanya saya dalami,” ungkapnya.
Pada tahun 2014, Abigail mengaku mulai mempelajari Eco Enzyme. Dia mengaku tertarik lantaran cairan serbaguna yang dihasilkan limbah organik seperti sisa sayuran dan buah-buahan itu memiliki banyak manfaat untuk kesehatan termasuk bagi tanaman.
“Saya akhirnya belajar untuk menciptakan sendiri dan ternyata eco enzyme itu banyak manfaatnya. Saya belajar sendiri (buat eco enzyme) dibantu mentor secara online,” ujarnya.
Setelah berhasil, Abigail lalu mencoba memanfaatkan eco enzyme buatannya sebagai campuran pupuk organik untuk digunakan pada sawah orang tuanya.
“Orang tua sangat mendukung, bersedia sawahnya jadi percontohan. Apalagi bapak tahu jika penggunaan pupuk organik itu akan memperbaiki tanah, jika tanah sehat tanaman yang tumbuh di situ juga akan sehat,” ungkapnya meyakinkan.
Setelah empat tahun melakukan uji coba pemanfaatan pupuk organik bercampur eco enzyme, Abigail akhirnya mulai mencoba mengedukasi petani untuk ikut melakukan hal serupa.
Namun upayanya itu tidak langsung membuahkan hasil. Tidak sedikit petani yang enggan beralih menggunakan pupuk organik dengan berbagai macam alasan.
“Petani paham tapi tidak mau melakukan. Dianggap ribet makanya tidak mau melakukan,” ujar Abigail.
Meski begitu, Abigail pantang berputus asa. Dia mencoba melakukan berbagai macam cara agar usahanya membuahkan hasil.
Salah satu caranya, memperkenalkan beragam manfaat eco enzyme kepada ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) dan mengedukasi anak-anak para petani.
Bak gayung bersambut, ibu-ibu KWT mulai tertarik dan aktif membuat eco enzyme. Hasilnya tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga, juga diterapkan pada pupuk organik untuk lahan pertanian.
Selain itu, Abigail juga rela menyulap rumahnya menjadi tempat produksi eco enzyme, yang telah menghasilkan berbagai jenis barang untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti sabun, obat gatal, hingga untuk kewanitaan.
Tidak mengherankan, Abigail kerap mendapat kunjungan warga yang ingin belajar membuat eco enzyme dan mengetahui cara penerapannya pada pupuk organik.
Setelah beberapa tahun melakukan penyuluhan, kini semakin banyak petani di daerah ini yang menerapkan pupuk organik di sawah ataupun kebun miliknya. Pun demikian dengan ibu-ibu KWT yang terus berinovasi menciptakan beragam produk kebutuhan sehari-hari yang berbahan eco enzyme.
“Makanya berkelompok agar buatnya lebih mudah. Sudah banyak yang menggunakan kompos, sudah banyak yang menerapkan. Tidak hanya dimanfaatkan petani juga pekebun,” tutur perempuan kelahiran 1977 itu.
Lebih lanjut Abigail mengungkapkan jika banyak suka duka yang dilewati saat berupaya mengedukasi warga menggunakan pupuk organik dengan campuran eco enzyme. Selain mengorbankan banyak waktu dan biaya pribadi, tidak jarang dirinya harus bertaruh nyawa melewati jalan ekstrim menjangkau warga yang tinggal di pedalaman.
“Banyak sekali dukanya, saya pernah hampir masuk jurang, jatuh naik motor, tertimpa motor, naik turun gunung, saya juga pernah jalan kaki sampai harus bermalam. Banyak juga biaya pribadi saya keluarkan untuk mengedukasi warga,” imbuhnya.
Namun segala pengorbanan yang telah dilalui, seolah terbayar lunas dengan makin banyaknya warga yang mulai menerapkan pupuk organik demi mewujudkan pertanian alami yang lebih sehat dan baik untuk lingkungan.
“Memang perlu kita gunakan pestisida tapi pada saat kondisi tertentu, saat hama memang sudah tidak terkendali. Harus dikombinasikan dengan organik, karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan berpenaruh pada iklim, berdampak pada kesehatan kita,” tandasnya.
Agar misinya menerapkan pertanian alami yang ramah lingkungan terus berkelanjutan, Abigail juga aktif melakukan sosialisasi di lingkungan sekolah.
Dia berupaya menumbuhkan kecintaan para murid sekolah terhadap lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Para murid juga diedukasi untuk memilah dan mengolah sampah baik yang organik maupun non organik.
“Kalau sampah tidak diolah, dibuang sembarangan dan dibiarkan mengalir masuk ke sawah, sampai ke laut, itu sama saja kita menzalimi petani, nelayan. Apa yang terjadi, sampah itu akan kembali masuk ke tubuh kita, melalui nasi dan ikan yang mengandung mikro plastik,” pungkas Abigail. (thaya)