Dunia Layak Anak
Ilustrasi.int

Dunia Layak Anak

Oleh : M Danial

KEKERASAN terhadap anak sangat sering terjadi di sekitar kita. Pelakunya beragam. Mulai para orang tua, keluarga dekat dan kerabat, hingga pihak lain, termasuk teman anak. Perbuatan atau tindakan kerap tidak disadari merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Terjadi dalam bentuk fisik atau psikis. Tidak disadari juga akibatnya merugikan anak sebagai korban.

Pandemi Covid-19 hampir dua tahun terakhir, cukup berpengaruh terhadap angka kekerasan terhadap anak. Jumlahnya meningkat karena berbagai faktor. Penyebabnya karena persoalan sosial ekonomi, rendahnya pengawasan orang tua, dan kebutuhan anak yang tidak tersanggupi kemampuan orangtua, misalnya untuk sekolah.

Dikutip dari CNN Indonesia.com (2/11), kasus kekerasan terhadap anak cenderung mengalami peningkatan dalam tiga terakhir sejak 2019. Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar menyebut jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat Sistem informasi online (Simfoni) perlindungan perempuan dan anak mencapai enam ribuan laporan kekerasan terhadap anak.

“Kasus eksploitasi anak dan perdagangan anak jumlahnya lebih tinggi. Angkanya lebih signifikan daripada kekerasan lainnya. Kasus eksploitasi anak angkanya lebih tinggi,” jelasnya.

Menurut data Kemen PPA, kekerasan terhadap anak pada 2019 sebanyak 11.057 kasus. Dari jumlah itu, kekerasan fisik tercatat 3.401 kasus, kekerasan psikis 2.527, kekerasan seksual 6.454, dan aksploitasi 106. Selain itu, tindak pidana perdagangan anak 111, penelantaran 850, dan kekerasan lainnya 1.065 kasus.

Pada 2020, angka kekerasan terhadap anak secara umum meningkat menjadi 11.278 kasus. Kekerasan fisik 2.900, kekerasan psikis 2.737, kekerasan seksual 6.980, dan eksploitasi 133. Tindak pidana perdagangan anak tercatat 213, penelantaran 864, dan kekerasan lainnya 1.121 kasus.

Pada 2020, angka kekerasan terhadap anak secara umum meningkat menjadi 11.278 kasus. Kekerasan fisik 2.900, kekerasan psikis 2.737, kekerasan seksual 6.980, dan eksploitasi 133. Tindak pidana perdagangan anak tercatat 213, penelantaran 864, dan kekerasan lainnya 1.121 kasus.

Sedangkan pada 2021 dari Januari sampai September, kekerasan terhadap anak mencapai 9.428 kasus. Kekerasan fisik sebanyak 2.274, kekerasan psikis 2.332, kekerasan seksual 5.628, eksploitasi anak 165. Dalam waktu sembilan tahun 2021, tindak pidana perdagangan anak tercatat 256, penelantaran 652, dan kekerasan lainnya 1.270.

Kekerasan pada anak adalah bentuk pengabaian hak anak yang harusnya dilindungi. Yang menyebabkan anak mengalami penderitaan secara pisik atau psikis, mengalami kesengsaraan, atau menjadi telantar. Kekerasan terhadap anak bisa terjadi pada setiap keluarga dan pada semua kelompok. Pada keluarga miskin atau kaya, semua rentan terjadi kekerasan. Pada keluarga yang terlihat harmonis pun berpotensi terjadi kekerasan pada anak yang berawal dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Fenomena pekerja anak yang bermunculan dimana-mana. Mulai di kota-kota besar, yang merambah sampai di ibukota kecamatan, belum terlihat upaya serius menanganinya. Pembiaran terhadap anak yang kondisinya butuh perhatian, seolah tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan. Bahkan, kerap terlihat di depan mata, anak-anak dibiarkan menjadi penunggu kotak amal di tengah jalan yang mengancam keselamatan jiwanya.

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus mendorong perhatian pemerintah daerah untuk kepentingan terbaik anak melalui program Kabupaten/kota Layak Anak (KLA). Tujuannya, untuk pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat, media dan dunia usaha secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan. Dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan yang ditujukan untuk menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.

Hingga tahun 2021, sebanyak 275 kabupaten/kota di Indonesia memeroleh penghargaan KLA dari Kementerian PPPA. Jumlah KLA meningkat dari tahun 2019 sebanyak 249. Di Sulawesi Barat, dua kabupaten telah menyandang status Layak Anak, yaitu Polewali Mandar dan Majene. Namun demikian, perlindungan anak dan berbagai persoalannya masih terlihat nyata juga.

Pemenuhan hak anak untuk mewujudkan dunia layak anak masih menghadapi tantangan. Masih banyak anak belum terpenuhi haknya yang layak di bidang pendidikan karena persoalan ekonomi, kesadaran orang tua dan dukungan masyarakat. Masih banyak anak yang mendapat perlakuan diskriminasi, menghadapi keterbatasan untuk tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabatnya. Serta mendapat perlindungan dari semua bentuk kekerasan.

Diperlukan komitmen semua pihak yang disertai konsistensi untuk pemenuhan hak anak sebagaimana mestinya, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014. Untuk hal tersebut, tentu bukan tugas pemerintah sahaja. Tapi, pemerintah jangan pula gampang mengklaim peran masyarakat yang dihasilkan secara swadaya. Apalagi, sekedar bangga dengan aneka slogan. (*)

__Terbit pada
23/12/2021
__Kategori
Opini