Home / Sosok / Baharuddin Lopa, Pendekar Hukum yang Pernah Gelisah soal Korek Api

Baharuddin Lopa, Pendekar Hukum yang Pernah Gelisah soal Korek Api

(Alm) Baharuddin Lopa. int

“Kalau pun besok langit akan runtuh, hukum dan keadilan harus ditegakan tanpa pandang bulu.”

Kalimat itu sering diungkapkan almarhum Baharuddin Lopa, sosok penegak hukum yang konsisten dan berani. Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menyebut Baharuddin Lopa adalah tiang langit penegakan hukum di Indonesia.

“Malam ini, salah satu tiang langit bumi Indonesia telah runtuh,” kata Gus Dur, setelah menerima kabar meninggalnya Baharuddin Lopa saat melaksanakan umrah di Tanah Suci Makkah pada 3 Juli 2001.

Konon, Gus Dur sempat mengurung diri dalam kamar di Istana Negara. Merasa sedih atas kepergian Lopa– sapaan Baharuddin Lopa –yang belum sebulan dilantik menjadi Jaksa Agung RI pada 6 Juni 2001.

Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH lahir 27 Agustus 1953 di Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Kepergian Lopa yang mendadak, mematahkan harapan akan proses hukum sejumlah kasus korupsi besar yang sedang ditangani putra Mandar itu. Sosok yang sangat konsisten soal kejujuran, kesederhaan dan ketegasan. Tidak hanya diucapkan, tapi dilaksanakan sungguh-sungguh. Ia tidak mengenal kompromi atau membeda-bedakan siapa pun soal penegakan hukum.

Banyak telah diberitakan media tentang sosok Lopa. Mulai hal-hal ringan dan dianggap sepele oleh orang lain, sampai yang serius dan sering diabaikan oleh banyak orang. Lopa tidak hanya dikenang sebagai seorang penegak hukum yang lurus, bersahaja, dan apa adanya. Lebih dari itu, memiliki nyali atau keberanian berjuang walau sendiri.

Lopa kukuh menganut prinsip, sebagaimana kalimat yang sering dilontarkan: “Banyak yang salah jalan, tapi merasa tenang karena banyak temannya yang sama-sama salah. Makanya, harus berani untuk kebenaran, meskipun  sendirian.”

Sosok yang pernah menjabat Sekjen Komnas HAM, selalu mengutip ayat Alqur’an atau hadis Rasulullah Saw dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam tulisannya di berbagai media. Pada kolom Panji Masyarakat 12 Mei 1997, Lopa menulis bahwa faktor penyebab pelanggaran HAM dan kemampuan untuk mencegahnya, tergantung pada ketakwaan kepda Tuhan.

“Karena salah satu kewajiban kita menegakan shalat lima waktu. Shalat sangat penting dalam usaha menegakan HAM, sebagaimana dalam Alquran surah Al -Ankabut 45: Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar.”

Mengenai kesederhaan dan keteladanan Lopa  dinukil dari beberapa sumber. Karena itulah, Lopa sangat disegani, bahkan ditakuti mereka yang mencoba mempermainkan hukum, termasuk para koruptor. Malah, banyak yang menyebut Lopa kelewat jujur. Tidak terkecuali pada keluarganya. Istrinya pun dilarang pakai mobil dinas walau hanya ke pasar. Atau menumpangkan anaknya ke sekolah dengan mobil dinas.

Lopa menjadi Jaksa di Kejari Makassar pada usia 23 tahun, saat masih berstatus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Karena dianggap berhasil, ia diangkat menjadi Bupati Majene pada usia 25 tahun.  Usia yang masih sangat muda saat itu.

Sebagai jaksa, Lopa pernah menangani berbagai kasus hukum yang melibatkan orang yang “ditakuti” saat itu. Salah satunya, Andi Selle, Komandan Batalyon 710, yang “menguasai” tanah Mandar. Andi Selle yang kaya dari hasil penyelundupan kopra, menawarkan “kerjasama” kepada Lopa dengan memberikan banyak uang. Tujuannya, tidak lain agar Lopa mendukung bisnis Selle. Dengan berani, Lopa menolak tegas.

Lopa dikenal juga sebagai pribadi yang religius. Ia hanya tahu pasar tradisional, tidak mengenal yang namanya Mall, apalagi pergi ke Mall, sebagaimana kebanyakan pejabat. Pada hari raya, ia tegas menolak pemberian parsel dari siapapun, termasuk dari teman dekatnya.

Suatu ketika, Lopa menelepon Jusuf Kalla (JK) yang kala itu masih aktif sebagai pengusaha dan pebisnis mobil di Makassar. Lopa bermaksud membeli sedan. JK pun menawarkan sedan kelas satu, Toyota Crown seharga Rp100 Juta saat itu. Lopa menolak. JK lalu menawarkan Toyota Cressida seharga Rp60 Juta. Lopa  menolak juga, kemahalan. JK menawarkan Toyota Corona dengan cuma-cuma, yang saat itu harganya Rp30 Juta, tapi lagi-lagi ditolak Lopa. Ia mau menyicil, bukan ingin diberikan.

JK lalu menawarkan sedan dengan harga Rp5 Juta, Lopa tetap menolak. Ia kemudian setuju Corona seharga Rp30 Juta untuk dicicil. Bukan karena Lopa tidak punya uang, tapi konsisten untuk menunjukan hidup sederhana.

Sebuah kejadian nyata sangat sederhana, tapi tidak sederhana bagi Lopa. Setelah menjadi pembicara di salah satu kampus di Makassar, Lopa yang juga Guru Besar Unhas istirahat sambil diskusi ringan, sambil merokok bersama beberapa dosen dan mahasiswa. Saat itu, Lopa meminjam korek api untuk membakar rokoknya.

Singkat cerita, Lopa kembali ke Jakarta. Tiba di Jakarta, ia  tersadar lupa mengembalikan korek api yang dipinjam. Ia menjadi gelisah, langsung menelepon salah seorang yang menemaninya merokok. Menyampaikan soal korek api yang tidak sengaja dibawa, sehingga membuatnya gelisah. Lopa menyebut jumlah batang korek api yang tersisa.

Curhat kegelisahan Lopa soal korek api itu, yang  harganya tidak seberapa, yang ditelepon bilang tidak apa-apa. Biasa terjadi seperti itu. Lalai. Apa jawaban Baharuddin Lopa?

“Bukan begitu. Nanti gara-gara korek api saya bisa masuk neraka. Masih ada ini beberapa batang (biji korek api), minta tolong saya mau titip kalau ada yang dari Jakarta pulang ke Makassar. Sampaikan permintaan maaf saya kepada yang punya korek api,” curhat Lopa, serius.

Beberapa hari setelah dilantik sebagai Jaksa Agung RI oleh Presiden Gus Dur, Baharuddin Lopa berkunjung ke kampung halamannya di Pambusuang, Polman. Saya sebagai koresponden Harian Fajar Makassar saat itu, ditugaskan dari redaksi mewawancarai Lopa soal target sebagai Jaksa Agung yang baru.

“Tidak ada target-target. Kita tidak boleh mendahului (kehendak) Tuhan. Yang jelas, bagi saya biar langit akan runtuh, hukum harus ditegakan, dengan jujur dan adil,” tegasnya dengan logat Mandar Pambusuang yang kental.

Begitulah Baharuddin Lopa, sosok pendekar hukum yang tak mengenal rasa takut. (emdanial)

error: Konten terlindungi !!