POLEWALI MANDAR,- Direktur Women Crisis Center (WCC) Sulawesi Barat Mimit Pakasi, SH., S.Psi., M.Psi, ikut angkat bicara terkait vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim kepada pelaku kekerasan anak di Kabupaten Polewali Mandar (Polman). Dia mendesak dilakukan reformasi sistem peradilan agar lebih berpihak pada korban kekerasan seksual.
“Termasuk peningkatan kapasitas aparat dan pendekatan yang sensitive terhadap isu gender dan anak,” kata Mimit dalam keterangannya, Jumat (02/05/2025).
Mimit mengaku prihatin lantaran oknum ASN inisial G yang menjadi terdakwa kekerasan seksual terhadap anak di Polman hanya divonis 1 tahun 3 bulan penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Polman mempertimbangkan perdamaian antara pelaku dan korban.
“Pelaku hanya dijatuhi hukuman 1 tahun 3 bulan penjara, jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut 12 tahun penjara dengan pertimbangan bahwa sudah ada perdamaian antara pelaku dan korban,” ujarnya.
Menurut Mimit, putusan yang dijatuhkan majelis hakim justru mencederai rasa keadilan terhadap korban dan mengirimkan pesan yang keliru kepada masyarakat.
“Kita ketahui bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan serius yang tidak boleh dianggap remeh atau ditoleransi, apalagi dengan putusan yang tidak proporsional,” tegasnya.
Dia menilai putusan yang dijatuhkan majelis hakim menjadi preseden buruk dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Sulawesi Barat khususnya di kabupaten Polman.
“Apalagi sebelumnya, kita juga dikejutkan dengan penyelesaian kasus serupa di wilayah Polman yang diselesaikan melalui hukum adat. Dalam kasus tersebut, pelaku dan keluarga korban sepakat berdamai, dan proses hukum formal tidak dilanjutkan,” beber Mimit.
Mimit menegaskan, penyelesaian kasus kekerasan seksual secara damai atau melalui adat tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan tidak menjamin pemulihan korban.
“Bahkan, korban bisa mengalami reviktimisasi karena tekanan sosial,” jelasnya.
Dia meminta aparat penegak hukum tidak tunduk pada tekanan sosial atau mekanisme adat yang mengabaikan hak korban.
“Negara harus hadir untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan, terutama bagi korban yang rentan seperti anak-anak. Namun, kami tetap menghormati putusan pengadilan tersebut,” pungkas Mimit. (rls/thaya)