Foto Abd Rauf Dg Sikki saat bersepeda sambil membawa barang jualan. (thaya)

Roda Hidup Kakek Penjual Tikar-Bantal di Polman, Bersepeda Puluhan Kilometer Demi Bertahan Hidup

SEORANG kakek berjuang menyambung hidup dengan berjualan tikar dan bantal di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Hampir setiap hari dia mengayuh sepeda tua sejauh puluhan kilometer demi mencari pembeli.

Perjuangan itu dijalani pria lanjut usia (lansia) bernama Abd Rauf Dg Sikki (66). Rauf mengaku tinggal di Desa Sidorejo, Kecamatan Wonomulyo, meski pada kartu identias yang dimiliki menerangkan dirinya beralamat di Kelurahan Sidodadi.

Saat dijumpai, Rauf sedang berada pada salah satu rumah warga di Kelurahan Anreapi, Kecamatan Anreapi, Senin (20/01) sekira pukul 13.00 WITA. Dia tampak sedang beristirahat sembari bercengkrama dengan sang pemilik rumah yang diakui sebagai pelanggan.

“Sudah sering saya di sini. Dari dulu sudah jadi langganan saya,” kata Rauf kepada wartawan, Senin (20/1/2025).

Pria kelahiran Gowa tahun 1959 itu lalu menceritakan awal mula berjualan di daerah ini. Dia mengaku menekuni profesi sebagai penjual keliling sedari remaja.

“Sudah sangat lama saya jualan. Waktu masih muda sudah mulai jualan,” tuturnya.

Rauf mengatakan, sebelum berjualan tikar dan bantal dia sempat mencoba peruntungan dengan berjulan barang pecah belah. Dia merubah haluan karena kerap merugi.

“Dulu jualan barang pecah belah sekitar lima tahun. Karena harga pecah belah kadang tidak stabil, jadi selalu merugi, saya akhirnya mencoba peruntungan lain dengan berjualan tikar dan bantal,” ungkapnya.

Menurutnya, profesi sebagai penjual keliling awalnya dilakukan dengan berjalan kaki. Setelah mewarisi sepeda ontel milik orang tuanya, dia melanjutkan berjualan dengan bersepeda.

Sepeda itulah yang digunakan untuk membawa barang jualan sembari berkeliling dari satu kampung ke kampung lain untuk mencari pembeli.

“Ini sepeda dari orang tua, diwariskan kepada saya. Sejak ada sepeda ini, saya tidak jalan kaki lagi kalau mau berjualan,” ujarnya.

Rauf mengaku, aktivitas berjualan keliling kerap dilakukan dari pagi sampai malam hari. Bahkan dalam sehari, dia bisa melakukan perjalanan bersepeda pergi pulang rata-rata menempuh jarak sekira 40 kilometer (km).

“Sampai puluhan kilo sehari. Perkirakan saja, mulai dari Wonomulyo sampai ke Kunyi, Pappandangan. Biasa juga ke daerah pantai,” ucap pria yang mengaku telah memiliki 10 cucu itu.

Rauf kemudian menceritakan sejumlah tantangan yang dihadapi sejak menekuni profesi sebagai penjual keliling.

Selain harus berpeluh keringat mengayuh sepeda di bawah teriknya matahari, terkadang perjalanannya harus terhenti lantaran terhalang hujan yang tetiba mengguyur.

Rauf juga mengaku kerap harus bersusah payah mengayuh sepeda saat melewati jalan menanjak. Begitupun saat melewati jalan curam, dia harus turun menuntun sepedanya dengan sangat berhati-hati.

Dia juga mengaku kerap harus memikul sepedanya ketika harus melintasi sungai. Bahkan menginap di rumah warga jika perjalanan pulangnya terhalang oleh aliran sungai yang tetiba meluap.

“Sering bermalam, apalagi kalau sudah kemalaman atau biasa juga karena tidak bisa menyeberang karena sungai meluap, terpaksa harus bermalam. Kadang juga sepeda sama jualan saya titip di rumah orang,” terang Rauf sembari menyeka keringat di wajahnya.

Selain itu, dia juga mengungkapkan jika terkadang tidak ada tikar maupun bantal yang laku terjual walau telah berkeliling kampung sepanjang hari. Padahal di sepanjang perjalanan yang dilalui, tidak sedikit warga yang telah memintanya untuk berhenti.

Meski begitu, Rauf mengaku tidak kecewa apalagi bersedih. Dia percaya Tuhan telah mengatur setiap takaran rezeki untuknya.

“Biasa tidak ada yang laku biar satu, kadang warga hanya tanya-tanya saja tapi tidak membeli, tapi itu sudah biasa. Saya tidak pernah kecewa, karena rezeki itu sudah diatur sama Tuhan,” ucap yakin.

Rauf mengatakan, dalam sekali berjualan bisa membawa 10 sampai 15 belas lembar tikar dan 5 buah bantal dengan harga bervariasi. Tidak semua barang tersebut dibeli warga secara tunai, sebagian besar terjual secara kredit apalagi saat musim paceklik.

“Kalau lagi panen itu biasa banyak pesanan, beda kalau paceklik, barang jualan kadang lebih banyak dicicil. Biasa kalau kita mau nagih susah, apalagi kalau lagi ada hajatan, kampung sepi, karena warga ramai-ramai ke tempat hajatan,” tuturnya sambil tertawa.

Dia mengaku, omset yang diperoleh dari hasil berjualan tikar dan bantal bisa mencapai Rp 3 juta sebulan. Hasilnya dibagi, sebagian diberikan kepada sang istri yang tinggal di Makassar, sisanya dipakai untuk kebutuhan sendiri.

“Alhamdulillah untuk hasilnya. Sebagian saya kirim ke Makassar, karena istri dan anak tinggal di sana. Sisanya saya pakai sendiri,” jelas Rauf.

Meski seluruh keluarga telah melarangnya untuk terus bekerja lantaran usianya sudah tidak lagi muda, Rauf mengaku belum ingin berhenti berjualan lantaran enggan merepotkan orang lain.

Dia selalu berdoa kepada Tuhan agar senantiasa memberikan kesehatan dan kekuatan serta melindunginya saat bekerja.

“Istri sama anak-anak sudah selalu melarang, tapi memang saya yang masih mau bekerja, saya masih mau berusaha sendiri tanpa merepotkan orang lain. Semoga Tuhan selalu memberi kesehatan dan melindungi saya saat bekerja,” ucap Rauf meyakinkan. (thaya)

__Terbit pada
25/01/2025
__Kategori
Inspirasi, Sosok