Kemenbud Lepas 2 Perahu Sandeq di Polman Menuju Banggai, Napak Tilas Jalur Sejarah
POLEWALI MANDAR,- Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) Republik Indonesia (RI) melepas 2 perahu Sandeq yang akan melakukan ekspedisi pelayaran menuju Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Ekspedisi ini sebagai napak tilas jalur sejarah yang akan diusulkan sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).
Pelepasan perahu ekspedisi milik Komunitas Bahari Mandar inu berlangsung di Pantai Palippis, Desa Bala, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, Sabtu (23/11). Kegiatan ini bertajuk Ekspedisi Bajo Sulawesi.
“Pelayaran Sandeq ini bukan hanya sekedar pelayaran tapi menghidupkan lagi warisan jalur sejarah. Yakni jalur teripang, jalur bajau,” kata Ketua Tim Kerja Diplomasi Budaya Kemenbud Mohamad Atqa kepada wartawan, Sabtu (23/11/2024).
Menurut Atqa proses pelayaran akan menghabiskan waktu selama 50 hari. Selama berlayar, Tim Ekspedisi akan melakukan penelitian dan diskusi budaya pada sejumlah titik yang telah ditentukan.
“Pelayaran ini memakan waktu 50 hari. Menuru rute-rute komunitas maritim terutama komunitas Bajau di beberapa pulau di Sulawesi,” ungkapnya.
“Tidak hanya pelayaran juga mereka melakukan dokumentasi, melakukan diskusi budaya. Dokumentasi untuk melakukan bahan riset bahwa isu-isu kebudayaan maritim bisa diangkat dengan adanya dokumentasi tersebut,” sambung Atqa.
Lebih lanjut Atqa mengungkapkan, Tim Ekspedisi dijadwalkan tiba di Banggai, Rabu, 11 Desember 2024. Tim akan mengikuti festival dan kongres budaya Bajau yang akan dihadiri oleh delegasi negara Asean.
“Di Banggai itu kami akan membuat festival yang mengangkat ekosistem laut, tertutama pangan laut dan budaya bahari. Salah satu rangkaiannya juga ialah kongres budaya nasional Bajau yang memang akan dihadiri oleh delegasi Asean, untuk membicarakan isu-isu kontekstual, permasalahan suku laut dan juga bahan kerjasama, yang nantinya kita ingin mengangkat tradisi maritim didaftarkan menjadi warisan budaya Unesco, warisan budaya dunia,” terangnya.
Sementara Ketua Tim Ekspedisi Muhammad Ridwan Alimuddin, menyebut pelayaran akan menempuh jarak sekira 1200 kilometer (km). Dia mengaku mempersiapkan waktu sebulan sebelum memulai ekspedisi lantaran harus merestorasi perahu Sandeq yang telah berusia 45 tahun.
“Jadi kami ukur di google jarak dari sini ke Luwuk Banggai itu kurang lebih 1200 km. Persiapan paling panjang adalah menyiapkan perahu Sandeq, karena kami menggunakan perahu tradisional yang sudah cukup berusia tua, salah satunya yang kami pakai sudah berusia 45 tahun,” tuturnya.
Dia menyebut tim ekspedisi berjumlah 10 orang. Melibatkan pelaut mandar yang profesional dan anggota Korps Pencinta Alam (Korpala) Universitas Hasanuddin (UNHAS)
“Kementerian Kebudayaan meminta kami melayarkan perahu Sandeq ke sana (Banggai). Diikuti 10 awak, ada pelaut Mandar professional dan lima anggota korps pecinta alam dari Unhas, kami akan singgah di pulau-pulau kecil yang ada komunitas Bajo di situ, kami mendokumentasikan tradisi lisan tentang orang bajo,” ucap Iwan.
Iwan menyebut mendapat kepercayaan dari Kemenbud untuk melakukan riset kontemporer tentang suku Bajo. Diakui hasil riset tersebut akan dijadikan bahan bagi pemerintah untuk mengusulkan tradisi suku Bajo menjadi warisan budaya tak benda di Unesco.
“Jadi kami diberi kepercayaan untuk melakukan riset kontemporer tentang suku bajo yang akan menyumbang sumbangsih pengetahuan yang akan diusulkan ke Unesco. Jadi ini menjadi bagian penting yang akan dilakukan pemerintah untuk mengusulkan tradisi orang Bajo,” ujar peneliti maritim suku Mandar itu.
Dia mengaku, pelibatan Komunitas Bahari Mandar dalam ekspedisi ini juga tidak lepas dari sejarah suku Bajo yang terkenal sebagai orang laut dan tersebar pada sejumlah daerah termasuk di Mandar.
“Hubunganya dengan Mandar cukup erat tapi banyak yang tidak tahu. Misalnya di Polewali Mandar ada nama tempat namanya Bajoe, kami pernah membaca referensi bahwa di teluk Mandar itu banyak orang Bajo, sekarang mungkin orang sudah tidak lihat tapi dulu banyak, dan nama-nama pulau sendiri di Polewali Mandar misalnya Karamasang itu istilah Bajo termasuk pulau Bala-balakang,” tutur Iwan meyakinkan.
Selain itu, lanjut kata Iwan, masyarakat maritim suku Mandar juga memiliki kemiripan budaya dengan suku Bajo. Hubungan itu diakui tidak banyak diketahui generasi masa kini.
“Dan kebudayaan Bajo sendiri, misalnya bendea ula-ula adalah bendera pusaka mereka (suku bajo) dan juga orang-orang mandar menjadi tradisi kalau mereka mendapatkan hasil yang banyak, tiba di kampung mereka akan memasang bendera ula-ula. Itu hubungan erat antara pelaut bahari Mandar dengan kebudayaan Bajo, Generasi sekarang sudah jarag mengetahui itu, apalagi riset itu masih sangat minim, jadi semacam napak tilas untuk mempererat hubungan (Mandar dan Bajo),” pungkasnya. (thaya)