M Danial (dok)

Armuzna

Oleh, M Danial

ARAFAH, Muzdalifah, dan Mina, disingkat Armuzna. Tiga tempat bersejarah yang merupakan situs suci lokasi pelaksanaan puncak ibadah haji di Tanah Suci, Mekah. Di sana jemaah haji dari berbagai penjuru dunia melakukan ritual ibadah haji. Wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan melontar jumrah di Mina.

Arafah atau Padang Arafah, sebuah kawasan yang lapang, datar, gersang nan tandus. Terletak sekira 25 kilometer persegi. Luasnya 12 kilometer persegi. Daya tampungnya tergambar dari jumlah jamaah haji yang berkumpul di Arafah mencapai 2,5 juta orang.

Arafah tertulis dalam sejarah tempat bertemunya moyang pertama manusia Adam dan Sitti Hawa setelah diturunkan ke bumi. Di Arafah keduanya sadar telah berbuat kesalahan sehingga diusir dari surga.

Cendekiawan muslim Qurais Shihab dalam bukunya “Haji dan Umrah”, nama Arafah diambil dari kata yang memiliki arti ‘mengenal’ atau ‘mengakui’. Sebab di lokasi itu setiap manusia harus mengenal jati dirinya dan menyadari semua dosa yang pernah diperbuat.

Muzdalifah terletak antara Arafah dan Mina. Nama lain Muzdalifah adalah Jam’u dan Al-Masy’ar Al-Haram. Dalam sejarah disebutkan, bahwa Rasulullah Saw berangkat ke Muzdalifah setelah wukuf di Arafah. Di sana Rasulullah melaksanakan salat Magrib yang jamak ta’khir dengan Isya lalu mabit (menginap).

Mengutip buku ‘Jejak Sejarah Dua Tanah Haram’, Mina berada di kawasan Tanah Haram antara Kota Mekkah dan Muzdalifah. Jaraknya sekira tujuh kilometer dari Masjidil Haram. Orang Arab kerap menyebut Mina dengan Muna yang berarti pengharapan atau optimisme.

Menurut sebuah riwayat, disebut pengharapan atau optimisme karena di sana Nabi Adam AS mendengar bisikan akan segera bertemu dengan istrinya, Hawa. Bisikan tersebut didengar Adam setelah berjalan dari Al-Kindi selama 200 tahun.

Bisikan itu membuat Adam bersemangat dan memiliki harapan akan segera bertemu Sitti Hawa. Akhirnya keduanya dipertemukan Allah Swt. Pertemuan keduanya di bukit sebelah selatan Padang Arafah yang dikenal dengan Jabal Rahmah.

Puncak pelaksanaan ibadah haji kini di depan mata. Jamaah haji secara berangsur bergerak menuju Armuzna mulai hari ini 14 Juni. Untuk melaksanakan ritual wukuf di Arafah pada 9 Zulhijjah. Setelah itu mabit di Muzdalifah, selanjutnya menuju Mina untuk melontar jumrah.

Wukuf di Arafah pada 10 Zulhijjah merupakan simblolisasi saat manusia dibangkitkan di Padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia.

Ritual ibadah haji berikutnya setelah adalah Mabit (menginap) di Muzdalfah. Setelah itu ke Mina untuk persiapan melontar jumrah.

Mabit di Muzdalifah merupakan momentum bagi para jamaah haji untuk melakukan kontemplasi, tafakur dan tadabbur mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Saya teringat pengalaman berhaji pada 2018. Tergabung dalam kloter 28/UPG. Setelah wukuf di Arafah, selepas maghrib ratusan bus mengangkut jamaah ke Muzdalifah secara taraddudi (bergiliran). Tiba di Muzdalifah jamaah berkumpul di hamparan seluas 12,25 kilometer yang beratap langit.

Sebagian jamaah menggunakan waktu beristirahat. Yang lainnya serius berzikir, tafakur dan tadabbur. Tidak sedikit pula yang sibuk memungut batu (kerikil) untuk persiapan melontar jumrah di Mina.

Sebelumnya panitia penyelenggara haji sudah menyiapkan batu yang dibagikan kepada setiap jamaah sebanyak 70 biji setiap jamaah. Tapi sebagian  jamaah tetap semangat mengumpul batu sendiri. Alasannya berharap berkah lebih banyak karena batunya dari hasil sendiri.

Ritual melontar jumrah merupakan salah satu yang selalu diingat dan dikenang para jamaah haji setelah kembali pada kehidupan normal.

Melontar jumrah adalah simbolisasi melempar sifat-sifat buruk dalam diri manusia. Menghempaskan sifat buruk dan menggantinya dengan sifat baik.

Tiba di Mina. Sebagian jamaah bersemangat untuk segera ke Jamarat melontar jumrah. Mereka seakan tidak merasakan kelelahan untuk menapaki jalan sedikitnya tiga kilometer (pergi-pulang enam kilometer) ke Jamarat dari Mina.

Sebelumnya penyelenggara haji Indonesia di Arab Saudi mengeluarkan edaran resmi mengenai waktu melontar jumrah bagi jamaah haji Indonesia.  Edaran tersebut sesuai hasil pertemuan para muassasah se Asia Tenggara untuk keamanan dan keselamatan jamaah haji.

Banyak jamaah haji yang tidak peduli larangan tersebut. Mereka tetap bersemangat segera ke Jamarat dengan alasan memburu pahala. Mereka yang menyiapkan batu sebesar genggaman tangan orang dewasa, dengan bangga mengatakan batu besar itu akan digunakan melempar raja setan.

Sejatinya ibadah haji merupakan perjalanan ujian untuk mengikis egoisme. Ujian untuk mengubur kebiasaan selalu merasa paling benar dan menafikan kebenaran orang lain. Memupuk kesetaraan, belajar saling menerima dan memahami perbedaan.

Haji mabrur adalah yang berhasil menghajikan egonya. Yang selalu siap berbagi dan memberi tempat kepada orang lain untuk kemasalahatan bersama. Haji mabrur adalah pribadi yang patuh pada aturan dan selalu menjadi teladan bagi orang lain. (*)

__Terbit pada
14/06/2024
__Kategori
Opini