Banno’, Camilan Lagendaris yang Tetap Laris
TERBUAT dari beras atau jagung. Diproses menggunakan peralatan sederhana dengan cara sederhana pula. Beras atau jagung sebagai bahan baku disimpan dalam wadah khusus. Setelah dipanasi dengan cara dipanggang menggunakan gas sekira 10-15 menit, beras atau jagung dalam wadah itu diledakan. Terdengar seperti bunyi letupan. Jadilah camilan yang dikenal dengan nama banno’ atau berondong. Nama kerennya popcorn.
Camilan yang rasanya legit itu sudah lama dikenal sebagai makanan ringan karena memang ringan, tapi tidak mengenyangkan. Banno’ makin menggoda rasanya jika diolah lagi menjadi pipang yang dibalut gula pasir atau gula merah cair. Di daerah Jawa disebut jipang. Banyak yang gemar mengunyah sambil istirahat minum teh atau kopi, pun sambil membaca atau nonton di depan TV.
Salah satu pembuat banno’ bernama Adam sudah belasan tahun menekuni usaha tersebut. Pria 35 tahun itu menyatakan bersyukur tetap sibuk melayani langganannya setiap hari pasar Wonomulyo pada Rabu dan Ahad. Pada hari lainnya, ia kebanyakan sibuk di rumahnya melayani langganan banno’ dari berbagai tempat di Wonomulyo dan sekitarnya.
“Saya usaha begini sejak 2008, melanjutkan usaha orang tua. Saya bersyukur tetap banyak yang suka banno’. Di rumah juga setiap hari melayani banyak pesanan,” jelas warga Sidodadi, Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar itu, saat disambangi di Pasar Wonomulyo, Ahad 26 Februari.
Adam membuat banno’ setiap hari, di pasar atau di rumahnya rata-rata setengah kuintal beras dan jagung. Mesin banno’ miliknya menampung 2,5 liter bahan baku setiap pengisian untuk diolah (diletuskan) yang menghasilkan empat liter banno’ beras atau jagung. Yang dijual Rp5.000 setiap tiga kantong kresek kecil. Adam menyebut setiap kali letusan menghasilkan banno’ dengan nilai jual Rp50.000.
“Kalau untuk pembuatan banno’ yang bahannya (beras atau jagung) dari langganan atau orang lain, ongkosnya Rp20.000 setiap letusan,” jelas ayah satu anak itu. Adam menyebut mesin banno’ pengoperasiannya menggunakan satu tabung kecil gas LPG untuk 24 kali letusan.
“Usaha seperti ini tidak banyak yang minati, mungkin karena melihat tradisional. Tapi bagi saya cukup membantu untuk kebutuhan keluarga, termasuk sebagai lapangan kerja,” imbuh Adam. Ia dibantu tiga orang sebagai tenaga kerja yang mengoperasikan tiga mesin pembuatan banno’ di rumahnya, dan satu orang yang menemani melayani langgananya di Pasar Wonomulyo.
Seorang perajin pembuatan pipang, Setiawati mengaku usahanya cukup membantu untuk meringankan kebutuhan sehari-harinya bersama keluarga. Yang membuktikan bahwa banno’ merupakan jajanan ringan yang masih digemari banyak orang. Apalagi banno’ yang diproses lagi menjadi pipang gula merah atau gula pasir, katanya, lebih cepat lagi terjual.
“Masih sangat banyak orang suka banno’, biarpun dibilang tradisional. Sangat banyak juga yang gemar pipang, tapi penjual pipang seperti saya tidak bisa bikin apa-apa kalau tidak ada banno’. Pokoknya dua-duanya banyak peminatnya, anak-anak sampai orang dewasa, orang kaya atau tidak kaya semua suka,” pungkas warga Pelitakan itu, sambil tertawa seolah menyemangati dirinya. Namun, ia tidak menyebut penghasilan yang diperoleh sebagai pembuat jajanan ringan itu. Camilan lagendaris yang tak lekang oleh waktu. (emdanial)