Hidup di Tengah Pandemi Membentuknya Jadi Perempuan Perkasa
Laporan: Thaya
Editor : Sulaeman Rahman
AWALNYA profesi perempuan ini adalah buruh tani. Namun, karena pandemi Covid-19 tidak membuatnya leluasa bepergian, pembatasan terjadi di mana-mana. Sementara, menjadi buruh tani harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Lena (44), warga Kelurahan Darma, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, ini tak menyerah begitu saja. Dengan sikap tegas untuk survival bertahan hidup, pekerjaannya sebagai buruh tani ditanggalkan. Ia beralih menjadi pemecah batu yang lazim hanya dilakoni kaum lelaki.
“Untung ada batu ini. Hasilnya memecah batu bisa buat beli beras, coba kalau tidak ada, kita mau makan apa?” tutur Lena sembari menghela nafas ketika ditandangi di lokasi tempat ia bekerja.
Di bawah pancaran sinar matahari, Lena, sang perempuan perkasa, ini bersama sejumlah warga yang seprofesi dengannya nampak sibuk mengumpulkan batu yang telah dipecahkan. Ada pula yang sedang berupaya memecahkan batu berukuran cukup besar.
Pagi ini, Lena, seperti biasa dengan langkah santai berjalan dari kediamannya menuju lokasi penambangan batu. Ia mengenakan kaos hitam berlengan panjang dengan topi lebar yang menutup kepalanya. Kedua tangannya menggenggam perkakas, linggis sepanjang satu meter dan palu seberat sepuluh kilogram.
Tiba di lokasi tempat ia memecah batu yang hanya berjarak puluhan meter dari rumahnya, Lena kemudian menyiapkan alat dan bahan untuk mulai pekerjaannya. Ia mengambil potongan karet ban bekas yang sudah ia siapkan. Potongan karet ban itu kemudian diselipkan di antara batu berukuran besar kemudian dibakar.
“Batunya harus dibakar dulu, biar lebih mudah dipecahkan. Kalau tidak dibakar, susah pecah,“ kata Lena, Sabtu (10/07/2021).
Sambil menunggu proses pembakaran bongkahan batu selesai, Lena memilih mengumpulkan sisa-sisa batu yang telah dipecahkan sehari sebelumnya. Batu pecah disusun rapi, agar bisa segera diangkat saat ada pembeli. Mengumpulkan batu-batu yang sudah ia pecahkan, Lena harus memakai sarung tangan agak tebal. Tujuannya melindungi tangan tidak terluka akibat goresan bongkahan batu-batu yang sisinya tajam. Bahkan, tak jarang masih ada batu menyimpan hawa panas akibat proses pembakaran.
Setelah selesai mengumpulkan batu pecah, Lena kembali memeriksa batu yang telah dibakar. Seluruh permukaan batu sudah tampak menghitam akibat proses pembakaran. Itu pertanda batu siap dipukul dengan hantaman palu untuk memecahkannya menjadi bongkahan.
Sekuat tenaga, Lena mulai mengayunkan palu dalam genggamannya, menghujam ke permukaan batu. Tidak hanya menimbulkan suara keras, tetapi juga serpihan batu yang pecah akibat kuatnya hantaman palu. Saat memecahkan batu, Lena mengaku harus berhati-hati. Apalagi, kadang ia merasakan sakit, lantaran hantaman palu meleset mengenai kakinya. Tidak jarang pula, kakinya terjepit batu berukuran besar, ketika mendongkel batu menggunakan linggis.
“Sering kena palu, sering kena linggis, sering terjepit batu. Meski sakit, kita mau bagaimana, karena kalau tidak kerja, kita mau makan apa, “ ujar ibu dua anak, sembari menunjukkan bekas luka pada tangan dan kakinya akibat terkena hantaman palu.
***
PEKERJAAN memecah batu dilakukan Lena dari pagi hingga sore hari. Profesinya sebagai penambang dan pemecah batu sangat bergantung cuaca dan tenaganya pada saat itu. Kendati diakui kepulan asap hitam tebal akibat proses pembakaran karet ban bekas, kerap menimbulkan sesak dan perih di mata. Namun, kondisi tersebut tidak lantas membuat Lena dan pemecah batu lainnya berhenti bekerja. Mereka terus memecah batu, walau bercucuran keringat di bawah teriknya terpaan sinar matahari.
“Sesak, tapi mau bilang apa lagi, kalau kita tidak kerja begitulah. Kalau dilihat dari ini kayaknya tidak kuat, tapi kuat tidak kuat harus kuat demi makan,“ ungkap Lena sembari menyeka peluh di wajahnya.
Diakui Lena, batu yang dipecahnya dijual sekali dalam seminggu. Untuk satu truk batu berkapasitas empat meter kubik dijual seharga Rp.300 ribu. Namun demikian, pendapatan bersih yang diperoleh selama seminggu memecah batu tidak sebanyak itu. Masih harus dikurangi dengan biaya pembelian karet ban bekas dan setoran kepada pemilik lahan tempat mengumpulkan dan memecah batu.
“Bersihnya paling dapat Rp.150 ribu karena masih harus keluar setoran kepada pemilik lahan sebesar Rp.20 ribu per mobil, beli ban bekas seharga Rp.25 ribu sampai Rp.30 ribu per ikat. Sedangkan, untuk hasilkan satu mobil batu pecah, kita kadang harus beli ban bekas sebanyak empat ikat,“ kisahnya.
***
KUATNO (50), adalah suami sang perempuan perkasa ini. Lelaki yang sudah berusia setengah abad, itu sudah hampir setahun meninggalkan istri dan anak-anaknya mengadu peruntungan nasib di Jakarta. Lena, merelakan suaminya mencari kerja di ibu kota, sementara ia sendiri harus mengurusi dua anaknya, terutama bagaimana ia menyiasati kebutuhan makan sehari-hari sepeninggal suami merantau.
Kerja serabutan Kuatno, ternyata masih belum seuntung harapan dan keinginannya mengubah ekonomi hidup keluarganya. Akibat hantaman pandemi virus corona, penghasilan Kuatno menjadi seret dan tidak menentu.
Sementara, Lena sendiri sebelum menjadi penambang dan pemecah batu, menggantungkan hidup dengan menjadi buruh tani. Namun sayang, lagi-lagi karena pandemi Covid-19, Lena pun harus pasrah meninggalkan profesi itu. Ia berganti pekerjaan menjadi penambang dan pemecah batu. Menjadi buruh tani tidak membuatnya bebas, lantaran harus berpindah-pindah tempat sementara protokol kesehatan (prokes) membatasi aktifitas untuk menekan penularan Covid-19.
“Sebagai warga kami juga harus patuh pemerintah, sehingga saya tidak memaksakan diri bertahan hidup sebagai buruh tani yang berpindah-pindah tempat. Beruntung ada batu ini, hasilnya bisa untuk beli beras dan kebutuhan di rumah,” ucap Lena sembari menunjuk bongkahan batu hasil kerjanya.
Prinsipnya, ujar perempuan berkulit hitam legam, ini sepanjang keinginan ada, kebutuhan hidup sehari-hari akan terpenuhi. “Kami memang berharap pandemi ini segera selesai, tapi tidak bisa hanya menunggu saja. Kita tetap harus berusaha punya penghasilan untuk menyambung hidup keluarga,” imbuh Lena bersemangat. (*)