Wujudkan Indonesia Sehat Jiwa Dengan Menghapus Stigma
Oleh : Fredy Akbar K,S.Kep.,Ns.,M.Kep
Staf Pengajar Keperawatan Jiwa AKPER YPPP Wonomulyo)
Masih kuatnya stigma terhadap depresi dan gangguan kejiwaan lainnya masih menjadi penghalang besar penderita mendapat penanganan. Penderita kerap mengabaikan gejala depresi yang dihadapinya sampai berlarut-larut karena tidak ingin dan tidak siap disebut sebagai orang gila.
Padahal tanpa intervensi dini, depresi yang dialami makin berat bahkan berujung pada bunuh diri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 lalu memperkirakan ada lebih dari 350 juta orang di dunia mengalami depresi. Diperkirakan tahun 2020 beban akibat gangguan jiwa ini menempati urutan kedua setelah penyakit jantung dan pembuluh darah. WHO juga menyebut setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri akibat depresi berat. Di Indonesia, Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi penduduk usia 15 tahun ke atas yang menderita gangguan jiwa sebanyak 6 persen atau sekitar 14 juta orang.
Kuatnya stigma menghambat orang dengan depresi untuk mencari dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal, Stigma telah menyebabkan ODGJ merasa malu, menyalahkan diri sendiri, putus asa, dan enggan mencari atau menerima bantuan. Sekitar 75% orang dengan penyakit mental melaporkan bahwa mereka telah mengalami stigma. Bukan hanya itu, perlakuan diskriminatif juga diterima oleh ODGJ.
Setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Untuk itu melalui Peringatan ini saya mengajak untuk membantu mengurangi stigma dan mendorong toleransi anda dapat mendukung ODGJ dengan cara sederhana, misalnya, mendukung orang-orang gangguan kejiwaan dan keluarga mereka dengan mengurangi diskriminasi. Lalu, untuk menghapus stigma, Anda juga sebaiknya tidak melabeli atau menghakimi orang dengan penyakit mental. Caranya, perlakuan mereka dengan hormat, seperti Anda melakukannya pada orang lain.