Usaha Pattiri’ Gallang Bertahan Hadapi Sekarat
Aktifitas pattiri di Desa Tangnga-tangnga, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar.

Usaha Pattiri’ Gallang Bertahan Hadapi Sekarat

DUA perempuan terlihat fokus pada sebuah tungku yang apinya membara. Keduanya menjaga kestabilan nyala api untuk melebur lempengan kuningan dalam tungku. Dua batang bambu berukuran besar dijadikan semacam tabung pompa untuk mendorong tekanan angin ke tungku pembakaran. Seorang perempuan lain bersama seorang pria sibuk menyiapkan wadah pencetakan lempengan kuningan yang sudah mencair dalam tungku.

Tiga perempuan dan seorang pria itu adalah perajin kuningan yang masih tersisa di Babarura, Desa Tangnga-tangga, Kecamatan Tinambung, Polewali Mandar. Pekerjaan itu dikenal dengan sebutan pattiri’ gallang. Mereka rata-rata sudah berusia lanjut atau lansia, walau menekuni pekerjaan itu sejak usia muda.

Usaha kerajinan itu dikenal dengan sebutan pattiri’ gallang. Pekerjaan yang sangat barisiko karena berhubungan dengan kobaran api dan lempengan kuningan cair dalam tungku untuk dituang ke wadah cetakan. Mereka menghasilkan berbagai peralatan yang terbuat dari kuningan, seperti cetakan kue dan peralatan dapur lainnya. Selain itu, perlengkapan rumah tangga seperti setrika, sampai perlengkapan kuda beban.

Para pattiri’ melakoninya dengan kondisi seadanya, sejak dulu hingga kini.

Pekerjaannya tidak sederhana, tapi semua dilakukan dengan peralatan sederhana dan serba tradisional. Di tempat kerja pattiri’ atau pattirian sama sekali tidak terlihat peralatan modern. Semua seba manual.

Salah satu pattiri’ senior, Tuami mengatakan pekerjaan yang masih ditekuni bersama beberapa orang sebagai sumber penghidupan. Walau tidak bisa berharap banyak pada usaha tersebut, mereka tetap bertahan dengan kondisi seadanya lantaran sumber penghidupan lain makin susah juga.

“Kita mengerjakan ini sebagai sumber penghidupan, hasilnya tidak bisa kita harapkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi inilah yang bisa kita lakukan,” jelas Tuami, Selasa 31 Januari. Pattiri’ yang usianya menjelang 70 tahun itu masih gesit menuang cairan lempengan kuningan ke dalam cetakan.

Aktifitas pattiri di Desa Tangnga-tangnga, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar.

Proses pembuatan cetakan dimulai dengan memoles lempengan lilin yang telah dileburkan menjadi bentuk cetakan sesuai kebutuhan. Lempengan lilin yang sudah terbentuk, dibungkus tanah bercampur pasir lalu dikeringkan. Lempengan kuningan dipanaskan hingga suhu maksimal dalam tungku terpisah.

Selanjutnya, lempengan kuningan yang sudah mencair dituang ke dalam cetakan lilin, sehingga  terbentuk lempengan kuningan sesuai bentuk cetakan lilin. Pekerjaan berikutnya, membersihkan tanah berpasir yang melekat membungkus lempengan kuningan yang sudah berubah sesuai desain yang diinginkan.

Pekerjaan pattiri’ kini ibarat hidup segan mati tak mau. Pasalnya, pesanan pembuatan cetakan kue atau peralatan lain makin minim karena serbuan peralatan modern.

Mariama, 60 tahun, mengaku pekerjaan mattiri’ makin kesulitan juga memperoleh bahan baku lempengan kuningan dan kebutuhan lain karena harganya makin mahal. Sedangkan penjualan produksinya dengan mencoba menyesuaikan harga untuk menutupi kebutuhan bahan baku, menyebabkan konsumen lebih memilih peralatan modern yang banyak di toko.

Bahan baku pattiri’ antara lain, lempengan kuningan seharga Rp55 ribu perkilogram, lilin Rp40 ribu perkilogram, lalu kebutuhan pembakaran seperti arang dan sabut yang harganya makin mahal juga. Sedangkan cetakan kue harus dijual dengan harga di atas Rp100 ribu untuk menutupi kebutuhan pembuatannya.

Pesanan yang masih sering diterima, disebut salah satu pattiri’,  Habiba, 55 tahun, antara lain giring-giring. Yaitu perlengkapan kuda beban pengangkut gabah. Sejak peranan kuda beban digantikan motor taksi pengangkut gabah, katanya, pesanan giring-giring makin minim juga.

“Biasa masih ada pesanan giring-giring kuda patteke (kuda beban), tapi makin kurang sejak banyaknya motor taksi mengangkut gabah di sawah,” keluh perempuan yang mengaku bekerja sebutan selain mattiri’ untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Para pattiri’ juga mengeluh karena usaha yang ditekuni sama sekali tidak pernah  mendapat perhatian pemerintah, setidaknya bantuan peralatan yang bisa lebih memudahkan usaha kerajinan kuningan. Termasuk pembinaan untuk melakukan inovasi produksi yang sesuai kebutuhan pasar.

Usaha pattirian di Babarura, hingga akhir 1990-an masih belasan orang yang tersebar di beberapa kelompok. Kini tersisa beberapa orang dan semua sudah lansia. Usaha  yang berjaya pada belasan tahun silam, kini ibarat bertahan dalam kondisi sekarat. (emdanial)

__Terbit pada
02/02/2023
__Kategori
Sosial