
Kisah Arya Pangga, Penderita Tuna Netra di Riso Yang Lihai Menyadap Air Aren
TAPANGO,- Hidup dalam keterbatasan fisik bukan alasan untuk menyerah pada hidup. Hal ini dibuktikan Arya Pangga (40 tahun), warga Dusun Rakasang, Desa Riso, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar. Walau menderita kebutaan pada kedua matanya, tidak lantas membuat Pangga sapaannya, hanya berdiam diri di rumah sembari mengharap belas kasih warga. Di usianya yang tidak lagi muda, dirinya tetap berjuang dengan bekerja sebagai penyadap air aren, untuk dibuat gula merah.
Bersama salah seorang teman, pada Kamis siang (24/01/19) penulis berkesempatan menemui Arya Pangga, di tengah kebun tempatnya biasa menyadap air aren untuk dibuat gula merah. Tidak mudah untuk mencapai tempat tersebut, hanya dapat dijangkau menggunakan kendaraan roda dua, melewati jalan sempit dan menanjak khas kebun, serta sejumlah anak sungai kecil. Bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya melewati jalan tersebut, khususnya saat musim penghujan tiba, namun tentunya jauh lebih sulit untuk membayangkan, bagaimana seorang pria paruh baya bisa beraktifitas di tengah kebun dengan kondisi kedua mata yang tidak bisa melihat.
Setelah berkendara kurang lebih 30 menit lamanya, sampailah kami pada sebuah pondok kecil atau rumah kebun yang kira-kira ukurannya hanya tiga kali lima meter. Di pondok tersebut saya disambut wanita bernama Isa (31 tahun) dan anaknya bernama Hendra (6 tahun).
Walau sebelumnya kami belum pernah bertemu, namun wanita bertubuh padat ini, tampak begitu hangat menyambut saya, seakan kami sudah sering kali bertemu dan saling mengenal.
Agar tidak membuang waktu, percakapanpun saya mulai setelah sebelumnya memperkenalkan diri, dan menanyakan terkait aktifitas Isa di rumah gubuknya “ ya seperti inilah pak, setiap hari saya datang kesini mendampingi suami untuk membuat gula merah “ jawab wanita yang mengenakan daster ini.
Setelah merasa percakapan semakin cair, sayapun memberanikan diri untuk menanyakan kebenaran cerita warga, terkait Arya Pangga, sang suami yang dikabarkan lihai menyadap air aren di pohon, kendati kedua matanya mengalami kebutaan “ betul pak, suami saya kedua matanya memang mengalami kebutaan sejak kecil “ jawab Isa dengan senyum.
Walau telah lebih 10 tahun lamanya mendampingi Arya Pangga, sebagai istri Isa juga kadang mengaku bingung bagaimana suaminya bisa tetap beraktifitas seperti orang normal, kendati kebuataan pada kedua matanya tidak bisa diragukan “ sampai sekarang saya juga masih bingung, bagaimana caranya dia bisa melihat, dia bisa mengetahui arah setiap tempat yang ditujunya, bahkan mampu mengenali mata uang yang dipegangnya “ ungkap Isa heran.
Selama percakapan yang berlangsung di dalam rumah kebun tersebut, sesekali terhenti, lantaran Isa harus memeriksa kondiri air aren yang dimasaknya dalam wajan. Menggunakan tungku dari tanah liat, dan kayu bakar untuk menyalakan api, kepulan asap yang tebal, tentunya tidak bisa dihindarkan, membuat saya harus berulang kali mengusap kedua mata yang terasa perih.
Isa yang tampaknya sudah terbiasa dengan kondisi tersebut, berulang kali tertawa melihat saya yang seperti menangis karena asap yang membuat kedua mata ini mengeluarkan air.
Tapi tidak apalah, apalagi saat percakapan kecil ini berlangsung, Isa menyajikan suguhan segelas air aren yang telah dimasak, yang oleh warga setempat disebut manisan. Ya, tidak salah lagi, manisan yang saya teguk dalam kondisi yang masih hangat ini, rasanya sedikit bisa menawarkan rasa pedih di mata, apalagi selain manisan, Isa juga menyajikan buah durian dan langsat, membuat saya merasa tidak ingin cepat pulang, sejenak mengabaikan wawancara, yang terpenting menikmati manisnya buah durian dan langsat asli daerah ini.
Lanjut wawancara, kali ini saya memberanikan diri menanyakan proses pertemuan Isa dan Arya Pangga, hingga akhirnya berlanjut ke pelaminan “ tidak pacaran, waktu itu kami dijodohkan oleh kedua orang tua, saya menolak namun takut karena diancam orang tua, tapi alhamdulillah, setelah menikah semuanya berjalan dengan baik, rasa cinta dan sayang itu tumbuh dengan sendirinya “ kisah Isa sembari memeluk Hendra.
Setelah cukup lama mendengar kisah Isa, percakapan kami pecah saat mendengar suara benda yang terjatuh di belakang rumah kebun ini, setelah diperiksa ternyata Arya Pangga yang datang sambil memikul potongan kayu berukuran besar. Saat melihatnya, saya masih ragu bagaimana mungkin hal tersebut dapat dilakukan seorang pria yang menderita kebutaan pada kedua mata, yang menurut saya orang normal belum tentu dapat melakukannya.
Sejenak saya hanya memperhatikan kedatangan Arya Pannga, yang langsung masuk ke dalam rumah kebun dan mengambil beberapa peralatan, sayapun memberanikan diri untuk menanyakan aktifitasnya selanjutnya “ mau ini, menyadap aren di kebun sebelah “ jawabnya.
Setelah memakai baju,mengambil dua buah jerigen masing-masing berukuran 10 liter yang dipikul menggunakan sepotong bambu , dan sebuah parang diikatkan pada pinggangnya, Arya Pangga bergegas berjalan meninggalkan rumah kebun miliknya, untuk menyadap air aren.
Tentunya, kesempatan ini tidak saya lewatkan untuk melihat secara langsung aktifitas sosok pria yang bagi saya patut untuk menjadi inspirasi bagi semua orang ini.
Perjalanan mengikuti Arya Pangga saya lakukan dengan berjalan kaki. Mata saya tidak pernah lepas mengawasi langkah kaki pria penderita tuna netra ini. Sesekali langkah kakinya melambat seolah meraba sesuatu di bawah telapak kakinya dengan tangan yang digerakkan ke depan, seperti hendak memeriksa keberadaan sesuatu di depannya agar tidak tertabrak.
Bagi yang belum mengenalnya, tentunya tidak akan percaya Arya Pangga menderita kebutaan, hingga mampu menghafal setiap jalan , menuju pohon aren yang akan di sadap airnya.
Perjalanan mengikuti Arya Pangga menyadap aren terasa jauh lebih berat dari perjalanan saya saat mendatangi rumah kebunnya. Walau pohon pohon aren yang disadap airnya hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumah kebun miliknya, namun karena berada pada ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut (angka ini berdasarkan aplikasi penunjuk ketinggian pada heand phone saya), dengan kemiringan sekitar 45 derajat, membuat lutut ini terasa bergetar disertai helaan nafas yang ngos…ngosan….
Namun, tampaknya rasa lelah yang saya alami tidak berlaku bagi sosok Arya Pangga, tak mau membuang waktu, pohon aren setinggi 15 meter langsung dipanjatnya dengan menapaki sebatang bambu yang telah diberi beberapa lobang, agar nyaman menjadi tempat pijakan kaki. Tidak perlu menungu lama, dua jerigen air aren masing-masing ukuran 5 liter diturunkan dari pohonnya. Jerigen yang dibawanya dari rumah pondok di pasang ke tempat yang baru, agar esok pagi dapat kembali diperiksa untuk diambil airnya.
Perjalanan kembali ke rumah kebun, saya manfaatkan untuk mencari tau penyebab kebutaan pada kedua mata Arya Pangga “ ini dari kecil, waktu itu umur saya sekitar lima tahun, gara-garanya waktu itu saya menderita penyakit cacar, mungkin salah obat akhirnya seperti sekarang ini “ kisah Arya Pangga.
Seakan memahami rasa penasaran saya akan kondisi yang jalaninya sekarang ini, Arya Pangga mengaku bahwa untuk beraktifitas seperti orang normal pada umumnya, selama ini hanya mengandalkan perasaan “ jadi untuk sehari-hari, betul-betul saya hanya mengandalkan perasaan, karena memang penglihatan saya sudah tidak ada sama sekali, jika ada yang bilang mungkin saya masih bisa sedikit melihat bayangan, kalau saya sudah tidak ada sama sekali, gelap gulita, hanya bisa merasakan dan mendengar suara orang di sekitar “ kata Arya Pangga sembari terus berjalan kembali menuju rumah kebun miliknya.
Kendati demikian, setiap kali akan mendatangi tempat yang baru, Arya Pangga mengaku harus didampingi orang dekatnya “ kalau tidak saya bisa bingung, makanya kalau tempat tersebut belum pernah saya datangi, harus ditemani dulu setelah itu tidak perlu lagi “ ujarnya.
Bahkan suatu ketika, Arya Pangga mengaku pernah terseret arus sungai, karena mendatangi tempat baru tanpa didampingi orang dekatnya “ beruntung waktu itu saya selamat setelah hanyut sekitar dua pulun meter terbawa air, setelah itu saya tidak berani lagi ke tempat baru jika tidak ada yang menemani “ katanya.
Tidak terasa kami kembali tiba di rumah kebun, dagaha akan rasa haus kembali menggoda setelah melewati perjalanan yang cukup panjang..he..he..hee…kali ini Arya Pangga menawarkan segelas air aren yang baru disadapnya, rasanya sungguh luar biasa, manis dan segar tidak kalah dari rasa segelas manisan yang sebelumnya telah saya teguk.
Tidak cukup sampai disitu, dalam kesempatan ini Arya Pangga juga menyuguhkan beberapa buah kepala muda, jangan bertanya soal rasanya yang tidak kalah dari buah durian, langsat ataupun manisan dan air aren yang telah lebih dulu saya nikmati, tapi yang pasti, usai menikmati semuanya, membuat saya enggan beranjak dari kebun ini, bukan karena ingin tinggal disini, tapi karena kekenyangan. He..he..he..
Dari hasil menyadap air aren, Arya Pangga dan Isa istrinya bisa menghasilkan 8 hingga 10 kilogram gula merah yang dijual seharga 14 ribu rupiah untuk setiap kilonya. Namun itu tidak setiap hari, hanya beberapa kali saja dalam seminggu.
Selain menyadap air aren untuk dibuat gula merah, untuk menopang ekonomi keluarga Arya Pangga juga kerap menawarkan jasa memanjat buah kelapa ataupun buah langsat saat musim panen seperti sekarang ini “ untuk satu pohon kepala yang dipetik buahnya, biasanya hanya diupah 5 ribu rupiah, sementara untuk buah langsat biasanya dihitung setiap peti yang diupah 10 ribu rupiah untuk setiap peti, dalam sehari biasanya mampu memetik 5 peti buah langsat “.
Saat musim paceklik tiba, tidak jarang Arya Pangga harus berutang kepada tetangga, agar dapurnya dapat terus mengepul. Dengan kondisi fisik yang dijalaninya, Arya Pangga sadar, tidak banyak pekerjaan yang dapat dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Banyak warga yang meragukan kemampuannya, bahkan tidak jarang Juliani (12 tahun) anaknya yang pertama dan kini telah duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, pulang ke rumah dalam kondisi menangis, karena menjadi bahan olokan teman-temannya.
Kendati demikian Arya Pangga tidak pernah bersedih, apalagi mengajarkan anaknya untuk membalas olokan temannya. Sebaliknya, pria penderita tuna netra ini, selalu mengajarkan kepada istri dan kedua anaknya untuk tetap bersabar dan selalu mensyukuri kondisi yang mereka jalani sekarang ini.
Baginya, menjalani hidup dengan kondisi sekarang jauh lebih baik, daripada harus hidup dengan kondisi bercukupan tetapi dari hasil meminta ataupun mengharap belas kasih dari orang dengan memanfaatkan keterbatasan yang dimiliki. (Thaya)