Catatan 66 Tahun Polman
FOTO : M Danial.

Catatan 66 Tahun Polman

Oleh, M Danial

HARI ini Kabupaten Polewali Mandar memperingati hari ke-66. Momentum tersebut seharusnya tidak sekadar menjadi panggung seremonial yang diwarnai pujian dan sanjungan. Melainkan untuk melakukan evaluasi kritis dan jujur apa adanya. Di balik slogan“Polman Lebih Baik”, publik perlu diajak melihat kenyataan yang sebenarnya. Bukan disuguhi narasi keberhasilan yang dipoles berlebihan. Terutama oleh mereka yang terbiasa sibuk menyenangkan atasan daripada melayani masyarakat.

Keterbatasan fiskal adalah fakta yang tak terbantahkan. Namun justru dalam kondisi APBD yang sempit, kejujuran, transparansi, dan keberanian mengakui keterbatasan menjadi kunci. Sayangnya, hingga kini budaya birokrasi masih akrab dengan laporan manis: ABS = asal bapak (bupati) senang. Para pejabat berlomba mengklaim keberhasilan. Presentasi kegiatan meyakinkan narasinya. Sementara masalah mendasar—seperti IPM (indeks pembangunan manusia) rendah, stunting, kasus kekerasan terhadap anak, dan pernikahan dini masih terus berlangsung. Padahal, ketika pujian dimaknai sebagai loyalitas, sedangkan kritik dianggap ancaman, maka kebijakan yang keliru akan menjadi warisan pemerintahan dari satu periode ke periode berikutnya.

IPM Polman tahun 2024 berada pada angka 70,46, keluarga berisiko stunting hingga Februari lalu sebanyak 3.120 keluarga. Sulbar tertinggi kasus stunting di Sulbar dengan jumlah tercatat 6.020 per-Agustus 2024. Adapun kekerasan terhadap anak sebanyak 92 kasus, sebanyak 22 kasus di antaranya kekerasan seksual terhadap anak. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat dari 11 kasus pada 2024.

Pembangunan manusia yang stagnan menjadi penanda terjadinya hal yang keliru dalam cara kerja birokrasi. Program berjalan, anggaran terserap, tetapi dampak sosial minim. Asas manfaat jauh dari harapan. Apalagi efesiensi dan efektifitas. Evaluasi selalu hanya bersifat formalitas karena enggan menyampaikan data apa adanya. Budaya ABS menciptakan ilusi kemajuan yang mematikan inovasi. Padahal, keberanian menyampaikan kegagalan adalah fondasi perbaikan.

Di sektor infrastruktur, ketimpangan antarwilayah belum banyak berubah. Laporan menampilkan grafik progres kuantitas. Informasi kualitas dan keberlanjutan program seharusnya juga ditampilkan, dan manfaat yang dirasakan masyarakat. Namun itu hanya harapan.

Transparansi selalu sebatas formalitas, tidak pada substansi. Masyarakat akhirnya sulit membedakan mana capaian nyata dan mana sekadar pencitraan.

Kolaborasi birokrasi yang sering didengungkan pun tak lepas dari persoalan serupa. Koordinasi lintas sektor hanya sebatas rutinitas. Rapat berkali-kali sampai penandatanganan komitmen. Data detail sebagai informasi publik sulit diakses. Ego sektoral menjadi tradisi yang terus dipelihara. Sedangkan kritik konstruktif cenderung dihindari demi menjaga citra. Kolaborasi tanpa keterbukaan hanya akan melahirkan kebijakan tambal sulam.

Fungsi pengawasan DPRD seharusnya menjadi penyeimbang. Namun pengawasan yang lemah—bahkan cenderung permisif—membuat budaya puja-puji dan sanjungan makin subur. Yang harus menjadi perhatian juga, residu Pilkada 2024 jangan dibiarkan membentuk relasi kekuasaan serba kompromi. Kontestasi politik telah selesai. Yang dibutuhkan kini dan ke depan adalah keberanian mengawasi, bukan berlomba memuji.

Di usia ke-66 ini, Polman membutuhkan perubahan kultur birokrasi. “Baik untuk Polman” hanya akan menjadi slogan yang minim makna. Akan sulit terwujud jika kebiasaan pejabat birokrasi tidak berubah secara substansi. Kritik konstuktif diabaikan. Transparansi – keterbukaan hanya formalitas. Loyalitas dilihat pada seberapa lantang pujian kepada atasan.

Daerah ini hanya akan maju jika kejujuran dihargai, transparansi dijalankan secara nyata, dan keberpihakan pada rakyat ditempatkan di atas kepentingan kekuasaan. Selamat Hari Jadi Polman 2025. (*)

__Terbit pada
29/12/2025
__Kategori
Opini, Pemerintahan