Foto udara suasana pemukiman warga di Desa Riso, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polman. (thaya)

Asal-usul Nama Desa Riso di Polman

RATUSAN rumah berderet rapi di bawah kaki gunung Pallebangan dan Buttu Banga di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Hamparan sawah yang subur dan aliran sungai di sekitar pemukiman membuat suasana tampak lebih indah dan asri

Suasana itu dapat kita jumpai di Riso. Salah satu desa di wilayah Kecamatan Tapango.

Desa seluas 42 km persegi yang terbentuk pada tahun 1993 ini merupakan pemekaran dari Desa Tapango.

Berdasarkan rekap data Desa Riso tahun 2022, diketahui jumlah penduduk desa ini kini mencapai 2815 jiwa. Tersebar pada 3 dusun, yaitu Dusun Tammalanre, Dusun Riso dan Dusun Tondokpata.

Pada sebelah Utara, Desa Riso berbatasan dengan Desa Palatta. Sebelah Selatan berbatasan Desa Barumbung dan Desa Makkombong. Sebelah Timur berbatasan Desa Kalimbua dan sebelah Barat berbatasan Desa Tapango.

Desa Riso berjarak sekira 35 kilometer dari Kecamatan Polewali yang merupakan ibukota Kabupaten Polman. Dapat dijangkau baik menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan waktu tempuh sekira satu jam.

Akses jalan menuju desa ini masih terbilang baik. Meski pada beberapa titik terdapat sejumlah kerusakan.

Setidaknya ada 2 jalur yang dapat dilalui jika ingin menjangkau Desa Riso. Pertama melewati jalur dari Kecamatan Matakali. Kedua melewati jalur dari Kecamatan Wonomulyo.

Terbentuknya Desa Riso tidak terlepas dari semangat dan harapan agar masyarakat setempat lebih sejahtera.

“Pertama-tama karena jumlah penduduk sudah memenuhi syarat, kita ingin desa Riso bisa lebih mandiri sehingga masyarakatnya sejahtera. Apalagi di sini ada juga Tomakaka, yang pertama Tomakaka Ulu Galung,” kata tokoh masyarakat Desa Riso, H Andi Muh Hatta kepada wartawan, Jumat (31/01/2025)

Hatta yang merupakan mantan Kepala Desa Riso dan selaku tokoh adat lalu menjelaskan tentang asal usul nama Riso. Dia mengemukakan tiga versi cerita terkait asal usul nama Riso.

Pertama,  cerita penamaan yang terpengaruh kondisi warga setempat yang kerap diliputi kerisauan akibat konflik antar kerajaan pada masa lampau.

“Dulu itu menurut sejarahnya itu kata Riso sebenarnya risau. sejarahnya ini Riso dari risau awalnya. Karena ini (Riso) berada di pertengahan antara daerah kerajaan di wilayah pegunungan dan kerajaan di wilayah pantai,” ungkap Hatta.

Dahulu menurut Hatta, ketika pasukan kerajaan dari daerah pegunungan hendak menyerang kerajaan di daerah pantai, begitupun sebaliknya, mereka kerap bertemu di daerah Riso hingga membuat warga setempat merasa risau.

“Karena ini (Riso) berada di pertengahan antara daerah kerajaan pegunungan dan kerajaan pantai (jadi jalur perlintasan waktu sering terjadi konflik), itu risau nya karena kalau ada persoalan antara masyarakat dari kerajaan pegunungan dan kerajaan pantai, di sini Riso ini masyarakat kita yang pertahankan kalau ada masalah, di sini bertahan dengan bahasa katanya, langkahi dulu mayatku kalau kau mau menyeberang menyerang ke sini, masyarakat Riso yang bertahan,” terangnya.

Hatta kemudian mengungkap cerita lain terkait asal usul nama Riso yang merujuk dari kata Pamaiso artinya dibuat lebih halus. Bahasa Suku Pannei itu kerap diucapkan warga saat menumbuk padi.

“Ada juga yang bilang itu, dari kata pamaiso. Warga kalau lagi menumbuk padi biasa mengatakan pamaiso-iso, artinya tumbuk lebih halus lagi,” tuturnya.

Versi cerita lain yang disampaikan Hatta bahwa Riso berasal dari nama udang khas di daerah ini yang dikenal dengan nama Buriso. Sayangnya, sudah lama warga tidak pernah lagi menemukan keberadaan udang tersebut.

“Ada memang itu dulu (udang) tapi sudah tidak ada sekarang. Ada udang namanya Buriso,” ucapnya.

Menurut Hatta, udang Buriso memiliki sejumlah ciri khas. Selain kulitnya berbintik, ukurannya juga lebih besar dari udang lainnya.

“Besar itu udang, dia berbintik kulitnya, merah, putih ada hitam. Tidak tau juga apa penyebabnya sampai bisa menghilang,” pungkas pria berusia 78 tahun itu.

Terlepas dari sejarah penamaannya, Riso kini dikenal sebagai salah satu desa penghasil buah langsat dan durian. Warganya juga terkenal ramah serta masih mempertahankan tradisi dan budaya.

Masyarakat Desa Riso umumnya berprofesi sebagai petani dan pekebun. Selain menganut agama Islam, sebagian penduduk di desa Riso tercatat sebagai penganut agama Kristen, Katholik dan Hindu.  (thaya)

 

 

__Terbit pada
02/02/2025
__Kategori
Pemerintahan, Sosial