Foto makam To Salama di Desa Riso, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polman.

Jejak ‘To Salama’ di Riso Polman

SEBUAH makam tua menarik perhatian di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Makam yang berada di tengah areal persawahan itu diyakini adalah makam ‘To Salama’.

Makam tua tersebut berada dalam bangunan berukuran sekira 2×2 meter. Terletak di tengah areal persawahan warga di Desa Riso, Kecamatan Tapango.

Lokasi makam tersebut berjarak sekira 200 meter dari pemukiman. dapat dijangkau dengan berjalan kaki melewati pematang sawah.

Meski berada dalam bangunan permanen, keberadaan makam tersebut tampak kurang terawat dan terkesan angker.

Apalagi, lokasi tempat makam tersebut dikelilingi semak belukar dan sejumlah pohon, membuat bangunan tempat makam berada nyaris tidak terlihat.

Di dalam bangunan tempat makam juga tampak kotor dan pengap.

Makam ‘To Salama’ itu ditandai dengan batu nisan berukuran panjang sekira 120 centimeter dan lebar sekira 70 centimeter.

Di tengah batu nisan terdapat 2 kayu nisan dengan ukuran berbeda. Bentuknya lancip dengan permukaan yang tidak rata.

Terlihat beberapa lembar uang di letakkan di atas piring yang tergeletak di tengah batu nisan. Pada batu nisan terdapat tulisan Puang Karama.

Salah satu warga bernama Penri mengungkapkan jika makam tersebut masih kerap dikunjungi warga. Tidak sedikit warga yang berkunjung untuk menunaikan nazar.

“Selalu ada yang datang. Biasanya mereka bernazar, ” kata Penri kepada wartawan, Sabtu (01/02/2025).

Bahkan diakui, tidak jarang warga yang menunaikan nazar melepas dan menyembelih hewan kambing dan sapi di tempat ini sebagai wujud kesyukuran.

“Pernah ada yang lepas ayam, ada juga yang potong kambing hingga sapi, ” tuturnya.

Sementara salah satu tokoh masyarakat Desa Riso, Andi Muh Hatta menuturkan, To Salama yang dimakamkan di tempat itu diketahui sebagai tokoh penyebar ajaran Islam di daerah ini.

“Orang meyakini dia pembawa ajaran Islam di desa Riso, ” ujarnya.

Meski begitu, Hatta menyebut jika hingga saat ini belum ada yang mengetahui nama To Salama yang dimakamkan di tempat itu.

Dia juga mengaku jika tidak ada yang tahu kapan To Salama itu datang hingga akhirnya meninggal di Riso.

“Tidak ada yang mengenali namanya, orang tua-tua kita hanya menyebutnya To Salama, ” ungkap Hatta.

“Menurut sejarah yang saya dengar bukan orang disini. Meninggal (To Salama) karena sudah tua,” sambungnya.

Meski begitu, berdasarkan cerita turun temurun, Hatta menyebut keberadaan To Salama semasa hidup membawa pengaruh cukup besar khususnya bagi masyarakat setempat.

“Banyak kejadian, banyak hal yang dirasakan masyarakat. Kalau ada kena masalah, ada keresahan dalam hati, dia (warga) ingat ini To Salama, banyak terjadi, ” ucapnya.

Hatta juga menceritakan kisah Riso terhindar dari kekacauaan pada zaman penjajahan tidak lepas dari keberadaan To Salama pada waktu itu.

“Banyak bukti-buktinya karena dulu itu selalu ada perang, ada musuh dari mana-mana, empat persegi. Cuman ini kampung tidak pernah dimasuki musuh dibakar, ” bebernya meyakinkan.

Kisah lain yang masih diyakini warga, manakala aliran Sungai Riso berpindah ketika To Salama dimakamkan pada tempat yang telah diamanahkan kepada kerabatnya. Sebab, dahulu keberadaan aliran sungai itu sangat meresahkan karena kerap meluap dan merusak areal persawahan warga.

“Itu sawah dulu sungai semua. Setelah dirasakan ada tanda-tanda akan meninggal, (To Salama) dia berpesan agar dimakamkan di situ, katanya Insya Allah kalau sudah dimakamkan di situ itu aliran sungai akan berpindah. Dan terbukti, menurut cerita warga beberapa hari setelah To Salama dimakamkan, aliran sungai itu berpindah, ” pungkas Hatta mengisahkan.

Untuk diketahui,  To Salama adalah gelar yang berasal dari bahasa dinriq, bahasa asli Kerajaan Binuang, yang berarti “manusia yang selamat”.

Kata “to” berarti “manusia” dan “salama” berarti “selamat”.

Gelar To Salama juga diberikan kepada ulama-ulama yang dipercaya sebagai wali Allah. (thaya)

__Terbit pada
01/02/2025
__Kategori
Sosial, Sosok