Penjual jamu gendong bernama Suminah.

Jalan Panjang Suminah Penjual Jamu Gendong di Wonomulyo Polman

SEORANG perempuan paruh baya terlihat berjalan seorang diri menyusuri sisi jalan yang mulai ramai kendaraan. Dia membawa bakul yang diikat menggunakan kain lalu digendong di punggung.

Perempuan itu juga terlihat menenteng sebuah ember kecil berwarna kuning berisi air dan beberapa gelas kaca.

Meski tatapan perempuan itu tampak sayu, langkahnya tegak menapaki jalan yang berdebu.

Perempuan itu bernama Suminah (55), warga Desa Campurjo, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.

Suminah berprofesi sebagai penjual jamu gendong. Diakui, profesi itu telah puluhan tahun dijalani.

“Sudah lama, sejak masih perawan sudah jualan jamu,” kata Suminah kepada wartawan, beberapa waktu lalu.

Suminah menceritakan awal mula dirinya menekuni profesi sebagai penjual jamu gendong. Bermula ketika dirinya diajak merantau untuk mencari kerja, usai menamatkan pendidikan SMA sekira tahun 1990.

“Selesai sekolah diajak merantau ke sini, jualan jamu sampai sekarang,” ungkap perempuan yang mengaku berasal dari Solo , Jawa Tengah itu.

Suminah mengaku, kemampuan membuat ramuan jamu gendong diajarkan warga yang saat itu mengajaknya merantau. Seiring berjalannya waktu, kini dia telah mampu meracik jamu dengan khasiat dan cita rasa yang lebih khas.

“Diajari sama bos, sekarang sudah buat sendiri,” tuturnya tersenyum.

Suminah menuturkan, awalnya ada banyak yang menekuni profesi sebagai penjual jamu gendong.  Seiring berjalannya waktu, kini dirinya yang bertahan menjalani profesi ini.

“Dulu banyak saingan, sekarang cuman saya,” ucapnya meyakinkan.

Suminah juga mengatakan,  pekerjaan sebagai penjual jamu gendong kerap dilakukan dari pagi sampai sore hari. Bahkan tidak jarang, dia harus berjalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya untuk mencari pembeli.

Terkadang, dia hanya dapat sabar dan mengelus dada jika perjalanannya mencari rejeki terhalang oleh panasnya cuaca maupun hujan.

“Biasa jam 7 pagi sudah berangkat dari rumah. Dulu biasa jualan sampai daerah Labasang, jalan kaki, sekarang di sekitaran Wonomulyo saja,”  tutur ibu tiga anak itu.

Suminah lalu mengungkap pendapatan awal mulai menekuni profesi sebagai penjual jamu gendong, hanya Rp 15 ribu sebulan. Kini pendapatannya mencapai 200 ribu sehari.

“Dulu pertama kerja gaji 15 ribu perbulan. Jamu masih 50 sampai 100 rupiah per gelas. Sekarang bisa dapat 200 ribu perhari masih kotor. Alhamdulillah hasilnya cukup untuk beli ikan, untuk penuhi kebutuhan hari-hari,” ujarnya sembari merapikan sejumlah botol plastik yang berada di bakulnya.

Lebih lanjut Suminah menuturkan, jika dirinya kerap bertemu warga yang usil dan enggan membayar jamu yang telah diminumnya. Meski sedih, dia mengaku tetap sabar dan tabah. Dia percaya, sang pencipta telah mengatur rejeki untuknya.

“Selalu ada orang minum jamu tidak bayar, orang naik mobil, naik motor, bilang tunggu malah bablas langsung pergi. Ikhlaskan saja, saya percaya Tuhan akan ngasih lebih, biasanya begitu, besoknya biasa tetiba banyak rejeki,” ujarnya bersyukur.

Dia berharap, Tuhan selalu memberikan kesehatan dan kekuatan agar dirinya dapat terus menjalankan profesi sebagai penjual jamu gendong. Dia mengaku enggan merepotkan apalagi menggantungkan hidup pada orang lain termasuk kepada anak-anaknya.

“Saya senang usaha ini, lebih baik usaha ini daripada saya bergantung sama orang lain. saya juga tidak mau merepotkan anak, meski biasa dilarang,” tandas Suminah.

Berjodoh dengan Pelanggan Jamu Gendong

Perjalanan panjang Suminah sebagai penjual jamu gendong ternyata membawanya bertemu jodoh. Dia bertemu dengan sang suami bernama Wagio (65) yang saat itu bekerja di pabrik penggilingan gabah.

“Ketemu di pabrik padi saat jual jamu. Di panggil ke situ,” tuturnya.

Waktu itu, Wagio langsung mengatakan cinta dan mengajak Suminah untuk menikah.

“Dia (Wagio) langsung bilang suka, kami tidak pacaran. Sekali ketemu dia langsung katakan mau melamar. Namanya jodoh,” kata Suminah sambil tertawa.

Suminah pun tidak berpikir panjang. Dia menerima ajakan Wagio untuk bersama-sama mengarungi bahtera rumah nikah menikah.

“Tidak ragu, mungkin karena sudah jodoh, langsung diterima,” ujarnya.

Setelah mendapat restu dari keluarga masing-masing, sebulan kemudian Suminah dan Wagio akhirnya melangsungkan pernikahan.

“Sebulan kemudian nikah, (keluarga) mereka merestui dan mendoakan,” pungkas Suminah. (thaya)

__Terbit pada
17/01/2025
__Kategori
Inspirasi, Sosok