“Sedekah Politik”
Oleh, M Danial
DI tengah riuh fenomena politik uang menjelang Pilkada. Ada istilah baru yang seolah untuk menyamarkan praktik curang yang selama ini lazim dengan sebutan serangan fajar. Istilah baru itu adalah sedekah politik.
Secara umum istilah sedekah dipahami sebagai perbuatan baik. Untuk membantu sesama dengan ikhlas. Tanpa mengharapkan imbalan selain ridho Allah Swt.
Sedangkan sedekah politik hanya terdengar seolah-olah positif dan mulia. Tapi sebenarnya merupakan bentuk kecurangan dan manipulasi. Yang menciderai demokrasi dan integritas pilkada.
Sedekah politik tidak lebih dari sebuah eufemisme untuk menyamarkan niat sebenarnya. Memberikan uang atau barang kepada pemilih demi mendapatkan dukungan suara.
Sedekah politik merupakan istilaj plesetan untuk menutupi motif praktik politik transaksional.
Kandidat atau tim sukses memberikan uang, sembako atau bentuk lain. Seolah-olah sebagai dermawan yang memiloki kepedulian kepada masyarakat. Padahal secara implisit pemberian itu adalah media pesan untuk memilihnya pada Pilkada.
Plesetan sedekah politik tersebut sering kali didukung argumen normatif sang penerima: “daripada lupa setelah terpilih, lebih baik uang yang dibagikan sekang diterima saja”. Argumen lain: tidak baik menolak rezeki di depan mata. Besok belum tentu masih ada. Kondisi seperti itu membuat masyarakat makin permisif terhadap politik uang. Antara kebaikan yang tulus dan jual beli suara makin sulit dibedakan.
Plesetan politik uang sebagai sedekah. Secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap demokrasi. Yang seharusnya bertumpu pada prinsip rahasia, kejujuran, dan kebebasan memilih. Ketika suara pemilih yang merupakan hak kedaulatan menjadi komoditi yang diperjual-belikan. Dengan sendirinya pula proses pemilu atau pilkada menjadi kehilangan asas rahasia dan adil. Dan tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya.
Di sisi lain kandidat atau Paslon yang terpilih karena “sedekah” politik uang. Akan selalu memandang jabatan yang didudukinya sebagai lahan untuk mengisi pundi-pundi inverstasi yang harus dikembalikan.
Itu akan menyebabkan terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Alih-alih untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan kualitas pelayanan publik.Sedekah politik akan menyebabkan juga masyarakat tidak peduli pada visi, misi, dan program yang dikampanyekan kandidat. Melainkan terbiasa pada ketergantungan pada pemberian sesaat.
Sedekah politik, meski hanya sebuah istilah. Sesungguhnya merupakan bentuk lain praktik manipulasi politik uang yang akan merusak demokrasi.
Bagaimana mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat, steril dari praktik politik uang atau sebutan lain. Sangat penting pembaruan komitmen yang disertai konsistensi semua pihak—pemilih, calon, penyelenggara pemilu, dan staleholders lainnya— pada nilai-nilai demokrasi yang sejati.
Pemilih jangan selalu menjadi objek pemberian sesaat demi sahwat kekuasaan. Melainkan menjadi subjek yang berdaya untuk melakukan kritik konstruktif terhadap perubahan. Termaauk menolak politik uang. Dengan demikian, kita semua berperan menjaga martabat demokrasi. Dan memastikan pemimpin yang terpilih benar-benar akan bekerja untuk kepentingan rakyat. Bukan sekadar untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. (*)