Masa (tidak) Tenang
Oleh, M Danial
MASA kampanye Pilkada 2024 sisa dua hari. Selanjutnya selama tiga hari sebelum hari pencoblosan adalah masa tenang. Yang merupakan hari terlarang melakukan kampanye. Masa tenang adalah jeda waktu dari kesibukan kampanye. Untuk memberi kesempatan bagi pemilih berpikir dengan tenang dan obyektif. Untuk menentukan pilihannya pada 27 November nanti.
Sejatinya masa tenang merupakan masa refleksi bagi pemilih. Tiga hari sebelum pemungutan suara adalah momen penting bagi pemilih. Untuk mempertimbangkan pilihan dengan pikiran yang jernih. Setelah masa kampanye selama enam puluh hari yang sesak dengan alat alat peraga kampanye di berbagai tempat. Dan orasi penuh semangat di panggung kampanye. Atau dialog tatap muka yang dipoles dengan harapan indah.
Enam puluh hari penuh dengan hiruk-pikuk janji kampanye para kandidat dan tim suksesnya. Yang tidak jelas pembedanya mana sekedar retorika dan mana yang bukan pe-ha-pe alias harapan palsu. Tiga hari menjelang hari “H” alih-alih menjadi masa tenang. Justru menjadi masa tegang bagi Paslon dan tim pemenangannya. Bagaimana menggunakan sisa waktu sebelum pencoblosan. Untuk memaksimalkan dukungan pemilih dengan cara bergerak dalam senyap.
Masa tenang Pilkada (dan pemilu) selalu juga disertai maraknya praktik politik uang. Salah satu bentuk pelanggaran yang lazim dengan sebutan serangan fajar. Praktik politik uang yang makin permisif terjadi dilakukan oleh oknum-oknum tim pemenangan dengan membagikan uang atau barang sebelum hari pencoblosan.
Istilah serangan fajar karena pelakunya beroperasi di waktu subuh. Memanfaatkan celah waktu yang dianggap terlepas lepas dari pengawasan saat fajar menyingsing sebelum hari pencoblosan. Fenomena serangan fajar yang makin masif tidak hanya menciderai demokrasi. Tapi juga merusak integritas Pilkada.
Melansir Pusat Edukasi Antikorupsi, masyarakat harus menghindari praktik “serangan fajar” atau politik uang karena mempunyai dampak yang buruk. Bahkan menjadi hambatan mewujudkan Pilkada yang jujur dan adil.
Serangan fajar adalah tindak pidana yang bertolak belakang dengan nilai jujur. Karena bertujuan membeli suara untuk mempengaruhi pemilih sesuai keinginan pemberi.
Masa tenang juga kerap digunakan sebagai kesempatan bagi pelaku penyebaran hoaks, bahkan black campaign (kampanye hitam). Informasi yang tidak terverifikasi kerap muncul muncul di media sosial menyerang kandidat tertentu. Informasi hoaks sering cukup efektif mempengaruhi pemilih secara instan. Karena keterbatasan waktu bagi pihak yang dirugikan untuk mengklarifikasi. Di era digital distribusi hoaks menjadi lebih masif, terutama melalui aplikasi pesan singkat yang sulit dilacak dan dihentikan.
Masa tenang juga merupakan juga masa rawan munculnya ketegangan sosial karena polarisasi politik yang tajam. Dukungan fanatik terhadap Paslon tertentu kerap memicu gesekan antarpendukung. Perang opini yang marak di dunia maya maupun dunia nyata, mengindikasikan bahwa masa tenang tidak benar-benar memberikan ruang damai bagi masyarakat.
Masa tenang rawan praktik pelanggaran kampanye terselubung atau kampanye di luar jadwal dan politik uang. Merupakan tantangan bagi Bawaslu untuk bekerja lebih keras memaksimalkan pengawasan dan mencegah terjadinya pelanggaran. Termasuk penyalahgunaan teknologi digital yang cenderung meningkat seiring makin dekatnya hari pemuncak Pilkada. Tentu Bawaslu dalam bekerja membutuhkan dukungan para stakeholders dan masyarakat pada umumnya.
Penegakan hukum yang konsisten terhadap berbagai pelanggaran dimasa tenang diharap memberi efek jera bagi pelaku kampanye dimasa tenang, bagi-bagi uang atau sembako “serangan fajar” dan penyebaran hoaks.
Masa tenang seharusnya menjadi waktu bagi pemilih untuk berdiam, merenung, dan membuat keputusan yang bijak tanpa tekanan atau intervensi. Namun, tantangan yang dihadapi menunjukkan perlunya perbaikan sistem dalam penyelenggaraan Pilkada. Demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud jika semua pihak—penyelenggara, peserta, dan masyarakat—berkomitmen menjaga integritas proses pemilihan. Masa tenang harus dikembalikan pada esensinya, bukan sekadar nama tanpa makna. Masa tenang bukan masa tidak tenang. Terlebih bukan masa tegang. (*)