Tanaman jewawut, di kebun milik warga Desa Lambanan, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar.
Tarreang, Bahan Pangan Lokal yang Terabaikan
Catatan M Danial
SEPINTAS, tanaman itu seperti rerumputan liar. Tinggi sekira satu meter. Batangnya kecil, berdaun lonjong mirip daun jagung. Buahnya berbentuk bulir bulat padat yang menggelantung di pucuk tangkai.
Namanya jewawut. Sudah sejak lama dibudidayakan petani di wilayah Kecamatan Balanipa, khususnya Lambanan, Lego, Bala, dan Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar. Dikenal dengan nama tarreang. Di wilayah Majene, tanaman serelia berbiji kecil itu disebut bailo. Merupakan bahan pangan pengganti beras. Sayangnya, jenis tanaman itu cenderung terabaikan. Padahal, memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dibanding beras.
Sempat menyaksikan panen tarreang pada sepetak lahan di Lambanan, akhir pekan lalu. Warga menyebut tempat itu Buttu Lewa. Letaknya sekira 400 meter di atas permukaan laut (MdPL). Sebagian wilayah Kota Majene, dan pantai sepanjang pesisir Kecamatan Balanipa, terlihat dari Buttu Lewa. Perairan Teluk Mandar terlihat jelas pula sejauh mata memandang.
Puluhan warga ikut serta melakukan panen tarreang dengan gembira. Setelah panen, mereka turut menikmati sajian makanan. Yang tidak tertampung di pondok kebun, tetap terlihat menikmati sajian di bawah pohon.
Tarreang sebagai bahan pangan, dapat diolah untuk beberapa macam penganan tradisional dengan rasa khas. Seperti sokkol (songkolo), buras, jepa, dan bubur (ule-ule’ tarreang). Jepa tarreang yang dibaluri gula merah dan pepaya parut, memiliki rasa khas. Belakangan, jepa tarreang dibuat seperti dadar yang menyerupai kebab, makanan asal Turki. Sehingga, ada yang menamai Kebab Mandar yang terbuat dari tarreang.
Tokoh masyarakat Lambanan, Khaerullah, menuturkan awal mula tarreang dikenal sebagai bahan makanan, ratusan tahun silam. Sebelumnya, sempat dianggap sebagai rerumputan liar untuk makanan burung. Setelah beberapa lama, tumbuhan berbentuk sereal itu dikonsumsi sebagai bahan makanan, seperti padi, jagung, atau singkong.
“Awalnya dikira seperti rerumputan liar, untuk makanan burung. Setelah dicermati, ternyata cocok untuk bahan makanan. Seperti padi, jagung, singkong yang sudah lebih dahulu dikenal. Ternyata bisa dikonsumsi sebagai makanan,” tutur Khaerullah, mengutip cerita leluhurnya tentang tarreang.
Khaerullah mengklaim tarreang merupakan tanaman yang awalnya hanya ditanam petani di Lambanan, Lego, dan Bala. Menurutnya, kalau di wilayah lain di Polewali Mandar ditanam tarreang, hampir pasti keluarganya berasal dari tiga desa tersebut. “Hampir pasti dari Lambanan, Lego, atau Bala yang menanam tarreang di tempat lain di Polman,” jelasnya. Di beberapa wilayah di Sulawesi Barat lainnya, seperti Majene, tarreang dikenal dengan nama bailo.
Sejak penanaman sampai panen, tarreang butuh waktu sekira dua bulan lebih. Paling lama 70 hari. Tergolong tanaman yang tidak membutuhkan perlakuan khusus. Dapat tumbuh di daerah semi kering sampai ketinggian 2000 MdPL.
Dikutip dari beberapa sumber, jewawut merupakan tanaman yang jauh lebih tua dari padi. Dibudidayakan di dataran Tiongkok sejak lima ribu tahun sebelum masehi. Lalu menyebar ke Eropa dan Asia. Dikenal di nusantara sejak tiga ribu tahun silam. Tanaman ini memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dibanding beras dan jagung. Daun tarreang bisa dimanfaatkan sebagai pakan dan pakan burung.
Meski memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, tarreang alias jerawat cenderung terabaikan. Tidak menjadi perhatian untuk dibudidayakan. Padahal, dapat menjadi bahan pangan alternatif selain beras. Setidaknya, menjadi varian kuliner tradisional yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. (*)