
Hari untuk Tahu
Oleh M Danial
SEORANG teman menceritakan pengalaman untuk mengakses informasi publik. Ia sering kesulitan, karena yang empunya informasi berlindung di balik istilah rahasia negara. Kerap juga si empunya informasi berdalih harus seizin atasannya untuk melayani permintaan informasi dari pihak luar. Fenomena seperti itu, paling sering untuk kebutuhan informasi atau data terkait anggaran badan publik.
Memeroleh informasi publik merupakan bagian penting dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi Republik Indonesia. Keterbukaan informasi, merupakan salah satu ciri negara demokratis yang menjunjung kedaulatan rakyat. Yaitu, memberi ruang kepada rakyat berpartisipasi untuk terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik. Yakni, pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kebebasan memeroleh implementasi di Indonesia, dipayungi Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dikenal dengan nama UU KIP, merupakan bentuk kesungguhan menghargai dan menghormati salah satu hak asasi manusia yang bersifat universal. Sebelum UU KIP, kebebasan memeroleh informasi termasuk kebebasan pers dipayungi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dua UU tersebut, lahir di era pemerintahan Presiden BJ Habibie, yang mengeluarkan juga kebijakan mencabut peraturan mengenai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Kebebasan memeroleh informasi sebagai hak publik, telah menjadi kesepakatan negara-negara yang memiliki UU Keterbukaan Informasi, yang menetapkan “Hari Hak untuk Tahu Internasional” setiap tanggal 28 September. Dirayakan pertama kali di Sofia, Bulgaria pada 28 September 2002 oleh Organisasi Kebebasan Informasi dari puluhan negara yang membentuk Jaringan Advokasi Kebebasan Informasi.
Dikutip dari Kompas.com, jaringan Organisasi Kebebasan Informasi itu melakukan promosi hak akses individu atas informasi yang terbuka dan transparan. Hari Hak untuk Tahu Internasional, merupakan gerakan global atas kebebasan memeroleh informasi.
Setelah 19 tahun sejak penetapan “Hari untuk Tahu” sebagai gerakan global yang diakui secara internasional, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi para pemangku kebijakan “menjepit” informasi publik. Apalagi, berlindung di balik alasan klasik bahwa informasi yang diampu adalah rahasia negara. UU KIP mengatur kewajiban setiap badan publik memberi layanan informasi kepada publik, sesuai ketentuan perundang – undangan.
Fakta hari ini, 19 tahun pencanangan setelah pencanangan “Hari untuk Tahu” sebagai gerakan global, kesulitan mengakses informasi publik masih sering terjadi. Yang mengalaminya, termasuk para pekerja media yang bekerja untuk kepentingan publik memeroleh informasi dari badan-badan publik. Tidak sedikit pejabat publik, yang terkesan menghindar. “Sangat beda kondisinya ketika pejabat punya agenda seremoni, apalagi untuk pencitraan,” begitu pengakuan seorang kawan saya. Padahal, informasi atau keterangan pejabat publik diperlukan untuk berbagai persoalan publik.
Semoga Hari untuk Tahu, 28 Srptember 2021 menjadi momentum untuk menjadikan makin banyak orang tahu tentang Hari untuk Tahu. (*)





