Gadis Pengumpul Buah Kapuk, Bertahan di Tengah Wabah
Gadis Pengumpul Buah Kapuk, Bertahan di Tengah Wabah
Laporan: Sulaeman Rahman (Paceko.com Grup Siberindo.co)
TAK mudah bertahan hidup di tengah kian tak menentunya kondisi ekonomi akibat pandemi atau wabah virus corona yang tak kunjung selesai. Namun, masyarakat tetap berjibaku dengan aktifitas keseharian, meski itu tidaklah amat menjanjikan.
Menjalani pekerjaan sebagai pemungut buah kapuk di tengah hutan, bagi Yulianti (17) adalah alamat untuk bisa tetap survival bertahan hidup. Apatah lagi dengus hidup mereka semakin susah akibat pandemi covid yang juga tak kunjung ada kabar kapan berakhir.
Yulianti, gadis belia warga Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, ini terpaksa harus menjalani aktifitas keluar masuk hutan mengumpulkan buah kapuk. Alasannya sederhana, membantu ekonomi keluargnya.
Aktifitas mengumpulkan buah kapuk, dilakukan gadis remaja asal Desa Tapango, Kecamatan Tapango, ini di sela waktu senggangnya sepulang sekolah atau saat hari libur tiba. Dan ini dilakoni Yulianti sejak masih duduk di sekolah dasar.
Lalu, sebesar apa harapan Yulianti menopang ekonomi keluarga hanya dengan memungut buah kapuk dalam hutan? Jika sandaran ekonomi keluarga mengandalkan buah kapuk, seberapa banyak hasil yang mereka bisa dapat? Hanya untuk makan saja, cukupkah?
Namun, gelayut pertanyaan itu tidaklah membuat Yulianti beserta ibunya lantas patah arang. Hidup sederhana dan bisa makan dari hasil keringat sendiri, dan tentu halal adalah prinsip bijak dan sangat manusiawi.
“SEJAK sekolah dasar sudah kerja seperti ini. Biasa kalau hari libur, atau pun pulang sekolah baru kumpulkan kapuk,“ kata Yulianti ketika ditandangi di rumahnya, Minggu (6/12/2020).
Kendati aktifitas mengumpulkan buah kapuk kerap dilakukan seorang diri, bahkan menjelajah jauh ke kawasan hutan, Yulianti mengaku tidak merasa takut. “Tidak takut, saya sudah biasa,” ujar Yulianti tenang.
Dalam mengumpulkan buah kapuk, Yulianti tidak membutuhkan alat bantu sama sekali. Ia hanya membawa sebuah karung usang, tempatnya menyimpan buah kapuk yang berserakan di atas rerumputan. Terkadang Ia harus memanjat pohon, untuk mendapatkan buah kapuk yang nyangkut di ranting pepohonan.
Menurut Yulianti, kendati kerap harus berjalan jauh masuk hutan, kadang tidak ada buah kapuk yang terkumpul untuk dibawa pulang ke rumah.
“Apalagi kalau tidak ada angin yang bertiup, nyaris tidak ada buah kapuk yang jatuh dari pohonnya,” terangnya sembari tersenyum.
Diakui, untuk sekarung buah kapuk yang terkumpul selama empat hari, dijual seharga Rp.50 ribu. Hasil itu diberikan kepada orang tuanya, terutama kepada ibu Yulianti. Sebab, tujuannya memang untuk membantu kebutuhan makan keluarga.
“Uangnya dipakai untuk bantu mama, untuk beli kebutuhan sehari-hari,“ ungkap Yulianti lirih.
Walau harus meluangkan banyak waktu mencari buah kapuk, gadis remaja yang baru duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Atas, ini tidak pernah lupa bahwa ia seorang pelajar yang butuh waktu menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. Yulianti tidak sama sekali berniat menelantarkan pendidikannya, meski dengan alasan begitu berat hidup harus ia panggul.
Yulianti tidak pernah alpa belajar. Setelah keluar hutan, sesampainya di rumah, ia selalu meluangkan waktu untuk belajar. Ia berharap bisa selesai sekolah saja sudah menjadi kebanggaan orang tuanya. Yulianti sendiri tak bercita-cita tinggi.
Bahkan Yulianti mengaku tidak merasa malu, kendati setiap saat harus meminjam handphone milik temannya untuk mengikuti proses belajar secara daring (dalam jaringan).
“Kalau mau belajar dari rumah harus pinjam HP, karena ada corona. Saya tidak punya HP, jadi harus pinjam sama teman. Biasanya saya menunggu setelah mereka selesai baru saya pinjam,“ pungkasnya tetap bersemangat.
Sementara itu, sang ibu Sukma Damayanti (45), mengaku tidak dapat menghalangi keinginan anaknya untuk terus bekerja. Kendati kerap merasa khawatir. Sang bunda akui, hasil dari kerja keras Yulianti mengumpulkan buah kapuk membantu meringankan beban kebutuhan sehari-hari.
“Hasilnya untuk beli kebutuhan sekolah dan kebutuhan lainnya,” imbuh Sukma dengan mimik sedih.
Selanjutnya kata Sukma, selama ini dirinya hanya tinggal berdua dengan Yulianti. Sang suami yang telah memberinya empat orang anak, pergi meninggalkannya saat Yulianti masih bayi.
“Suami saya sudah lama pergi, dua anak saya ikut sama suami, seorang lainnya sudah lama menikah dan tinggal sama suami di tempat lain. Di rumah ini hanya ada saya dan Yulianti, “ jelasnya.
Kendati hidup dalam keterbatasan ekonomi, Sukma tetap bersyukur, lantaran Tuhan masih memberi kesehatan dan kekuatan, sehingga Ia dan anaknya dapat terus bekerja menyambung hidup.
“Semoga anak saya berhasil walaupun susah, demi cita-cita dia berjuang. Saya tidak pernah berputus asa karena masih ada Tuhan. Saya berusaha semoga berhasil anak saya,“ harapnya dengan raut memelas. (***)







