
Pengrajin Tahu di Polman Meradang Akibat Harga Kedelai Naik
POLEWALI MANDAR,- Sejumlah pengrajin tahu di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, meradang akibat naiknya harga kedelai imbas perang tarif dagang Amerika Serikat (AS). Mereka terpaksa mengurangi produksi dengan keuntungan yang semakin menipis agar tidak gulung tikar.
Seperti dirasakan pengrajin tahu bernama Adrian Hendri Prayoga di Desa Sugihwaras, Kecamatan Wonomulyo.
“Kalau dibilang rugi tidak juga, hanya keuntungan memang semakin menipis. Jadi terpaksa kita mengurangi saja produksi demi mempertahankan langganan,” kata Adrian kepada wartawan, Selasa (22/04/2025).
Menurut Adrian, kenaikan harga kedelai yang menjadi bahan baku utama pembuatan tahu dan tempe terjadi pasca lebaran Idul Fitri kemarin. Harga kedelai melejit menjadi Rp 10.700 per kilo dari harga awal Rp 9.600 per kilo.
“Ada kenaikan (harga kedelai) habis lebaran kemarin. Dari harga 9.600 naik menjadi 10.700,” ungkapnya.
Adrian mengaku tidak mengetahui secara pasti pemicu naiknya harga kedelai. Dia menduga kenaikan harga dampak perang tarif dagang yang dilancarkan pemerintah AS sebab pengrajin tahu dan tempe masih bergantung pada kedelai impor.
“Mungkin masalah di luar negeri, perang tarif dagang (Amerika), atau mungkin di sana stoknya memang lagi tidak ada,” ujarnya.
“Memang kita masih sangat bergantung sama kedelai impor. Soalnya produksi kedelai lokal kita sedikit, tidak cukup,” tuturnya.
Dia mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk menyiasati kenaikan harga kedelai ini. Menurutnya, opsi mengurangi produksi jauh lebih baik ketimbang ikut menaikkan harga jual atau mengurangi ukuran tahu dan tempe.
“Kita jalani saja, kita mau perkecil ukuran kalah saingan dengan yang lain, karena di sini tidak ada komunitas, siapa yang kuat itu yang masih jalan. Kalau ukuran kita perkecil itu akan lari (pelanggan),” ucapnya..
Adrian berharap pemerintah melakukan upaya antisipasi apabila kenaikan harga ini terus terjadi. Salah satu caranya dengan memfasilitasi pembentukan organisasi pengrajin tahu tempe di daerah ini.
Organisasi itu diharapkan dapat menjadi wadah bagi pengrajin tahu dan tempe untuk menyepekati harga jual jika terjadi perubahan harga kedelai.
“Kalau bisa pemerintah fasilitasi pembentukan komunitas industri tahu tempe yang nantinya bisa mengatur harga jual jika terjadi perubahan harga bahan baku (kedelai). Kita tidak sama di Jawa, kalau bilang berhenti semua (pengrajin) ikut berhenti, di sini satu berhenti yang lain tetap jalan jadi menguntungkan buat mereka,” pungkas Adrian. (thaya)