Kentongan 'Kyai Ulem Jumengglung, di Desa Campurjo, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polman, Minggu (19/01/2025).

Mengenal Kentongan ‘Kyai Ulem Jumengglung’ di Campurjo Polman

POLEWALI MANDAR,-  Kentongan adalah alat komunikasi tradisional yang memiliki sejarah panjang dan telah menjadi bagian penting dari budaya dan kehidupan masyarakat Nusantara.

Alat yang terbuat dari bambu maupun kayu ini memiliki bentuk seperti tabung dengan rongga di tengahnya.

Pada zaman dulu, alat yang mampu menghasilkan suara khas ini memiliki fungsi yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari. Selain untuk memberi sinyal, kentongan juga menjadi alat untuk memanggil warga atau memberi peringatan dalam berbagai berbagai konteks kehidupan.

Meski sudah jarang dijumpai, sebuah kentongan berukuran besar masih terlihat di Desa Campurjo, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.

Kentongan setinggi 2 meter itu ditempatkan di bawah pendopo mini yang tepat berada di halaman kantor Desa Campurjo.

Kentongan dengan diameter sekira 100 centimeter itu tampak masih terawat. Hanya ada sedikit kerusakan pada bagian di sekitar rongga kayu diduga karena keseringan dipukul dan sudah lapuk.

Keaslian warna kayu kentongan tersebut sudah tidak terlihat lantaran tertutupi cat berwarna hijau. Sementara beberapa ukiran di permukaan kentongan diberi warna putih kombinasi merah.

Pada bagian atas kentongan terdapat ukuran berbentuk angka 1952. Sementara pada selembar papan di bawah atap pendopi mini tempat kentongan di gantung, tertulis ‘Kyai Ulem Jumengglung’.

Diketahui, tulisan Kyai Ulem Jumengglung adalah julukan yang diberikan untuk kentongan tersebut. Sebab, pada zaman dahulu kentongan dianggap sebagai mediator untuk menyampaikan pesan yang dapat dipercaya dan harus dihormati.

“Kyai ulem itu memberi penjelasan bahwa itu perlu dihormati, dicintai. Ada makna yang tersirat, perlu dihargai dan dihormati keberadaannya. Jemenglung suaranya lain-lain, dulu kalau sudah bunyi (kentongan) warga itu pasti kumpul,” kata tokoh masyarakat Desa Campurjo, H Sabar kepada wartawan, Minggu (19/01/2025).

H Sabar memperkirakan, kentongan tersebut telah ada sejak tahun 1952. Menurutnya, kentongan itu dibuat warga setempat menggunakan kayu trembesi.

“Barangkali sekitar tahun itu (1952). Dibuat di sini, orang sini yang bikin pakai kayu trembesi,” ujar mantan kepala desa Campurjo itu.

Lebih lanjut dia mengatakan, kentongan tersebut telah ada sebelum Campurjo menjadi desa. Dahulu kentongan itu di tempatkan di rumah kepala kampung.

“Sebelum jadi desa (Campurjo) sudah ada (kentongan). Waktu itu masih desa Sumberjo.  Dulu ditempatkan di rumah kepala kampung lalu dipindahkan ke desa,” ungkapnya.

Dia menuturkan, setiap jumlah pukulan dan nada yang dihasilkan kentongan tersebut memiliki makna berbeda-beda.

“Memang ada ciri khas pukulannya. Kalau dulu umpama ada orang mati dipukul 6 kali. Kalau pukulanya berulang-ulang dan panjang itu ada kejadian seperti pencuri, rampok. Kalau diundang mau ada rapat namanya kumpulan itu dipukul juga (kentongan),” terang pria 76 tahun itu.

Menurut H Sabar, dulu warga rutin menggelar acara selamatan sebagai upaya melestarikan tradisi, termasuk melestarikan keberadaan kentongan yang dianggap memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat.

Hanya saja kata dia, tradisi itu sudah ditinggalkan. Bahkan, generasi masa kini diakui sudah banyak yang tidak mengenal kentongan dan fungsinya.

“Harusnya dilestarikan betul, umpama setiap hari ulang tahun (desa) maunya ada selamatan, dulu itu dilakukan, ada tumpeng kecil. Artinya melestarikan, kita mau supaya itu lanjut regenerasi, hanya saja sudah tidak diperhatikan,” pungkasnya. (thaya)

__Terbit pada
19/01/2025