
Larangan Bukber dan Keteladanan
Catatan M Danial
BUKA puasa bersama di bulan ramadhan sudah menjadi tradisi umat Islam Indonesia. Buka puasa bersama atau Bukber merupakan media silaturahmi keluarga, kerabat, rekan kerja, relasi, dan sebagainya.
Indonesia adalah salah satu negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Tidak heran bulan ramadhan merupakan momen untuk
melakukan berbagai kegiatan menyemarakan syiar Islam.
Bukber merupakan salah satu cara menjaga tradisi dan budaya. Nilai yang penuh makna dalam tradisi Bukber sangat relevan dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi silaturahmi.
Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo meminta buka puasa bersama selama ramadhan 1444 H ditiadakan untuk kalangan pejabat hingga pegawai pemerintah.
Permintaan Presiden Joko Widodo tertuang dalam surat Sekretaris Kabinet RI Nomor 38/Seskab/DKK/03/2023 perihal arahan terkait penyelenggaraan buka puasa bersama.
Surat tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, dan kepala badan/lembaga pemerintah lainnya.
“Penanganan Covid-19 saat ini dalam transisi dari pandemi menuju endemi sehingga diperlukan kehati-hatian,” poin pertama surat arahan Presiden yang diteken Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Poin kedua: “Sehubungan dengan hal tersebut, pelaksanaan buka puasa bersama pada bulan suci ramadhan 1444 H agar ditiadakan.”
Poin ketiga: Menter Dalam Negeri agar menindak lanjuti arahan tersebut kepada para gubernur, bupati dan wali kota.
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono merespon arahan Presiden Jokowi tersebut. Pandu mengapresiasi sikap pemerintah yang masih menanamkan kewaspadaan terhadap pandemi Covid-19.
Namun Pandu menilai larangan tersebut tidak cukup kuat hubungannya dengan kehati-hatian, karena hampr 100 persen penduduk Indonesia sudah punya imunitas.
Bagi mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, larangan Bukber tersebut tidak arif dan tidak adil.
Menurut Din Syamsuddin, larangan tersebut terkesan tidak memahami makna dan hikmah buka puasa bersama di bulan ramadhan.
Buka puasa bersama merupakan ajang untuk meningkatkan silaturahmi dan bernilai positif untuk peningkatan kerja dan kinerja ASN.
Arahan Presiden Jokowi soal Bukber sebagai bentuk kehati-hatian pascapandemi Covid-19 menjadi pertanyaan bagi masyarakat. Lantaran pemerintah sendiri belakangan ini sering menggelar keramaian dan kerumunan.
Presiden Jokowi pun sering berada di tengah keramaian. Salah satunya pada acara pernikahan putranya yang berlangsung mewah dan mengundang kerumunan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Cholil Nafis berpendapat larangan Bukber tersebut tidak tepat. Cholil menyebut buka puasa bersama tidak beda dengan kumpul-kumpul kondangan, pertemuan dengan pendukung atau konsolidasi.
Adapun politisi Yusril Izha Mahenda kuatir larangan buka puasa bersama dapat menjadi bahan yang akan menyudutkan pemerintahan Jokowi. Lebih jauh dari itu, akan menyebut Presiden Jokowi anti-islam.
Jika larangan Bukber karena kehati-hatian dalam masa transisi pascapandemi Covid-19, maka diperlukan pemberlakuan yang sama untuk semua kegiatan yang menimbulkan kerumunan.
Bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan instrospeksi dan evaluasi untuk menjadi lebih baik.
Semoga bulan suci ini menjadi mementum bagi pemerintah agar konsisten menjadi teladan kepada rakyat. Yaitu melaksanakan apa yang dikatakan, bukan mengatakan yang tidak dilaksanakan.
Dengan cara tersebut, kepercayaan rakyat akan terjaga. (*)