Gambar ilustrasi. (int)

Roti Abu Nawas

M Danial

Menjadi pejabat tidak hanya harus memiliki kemampuan kepemimpinan dan berinovasi untuk keberhasilan tugasnya. Level kepala desa atau kepala sekolah pun disebut pejabat dan punya kewenangan sesuai levelnya. Tidak heran makin banyak yang mengincar kedudukan itu. Namun, kemudian mengaku menyesal merasa kesulitan mem-bisa-kan yang tidak bisa.

Dalam sebuah kesempatan bertemu beberapa teman yang sebelumnya tidak merasa sebagai pejabat. Ia “curhat” tentang berbagai hal. Teman saya itu sebelumnya sudah pejabat, tapi bukan penentu. Sekarang posisinya tidak lagi seperti dulu, setelah naik kelas menjadi penentu sekaligus penanggung jawab kebijakan.

“Sekarang anda harus bisa menyesuaikan diri, tapi jangan memaksakan yang tidak bisa, karena risikonya pada anda,” kata saya, memberi masukan. Saya sadar bukan pada posisi menasihati, karena paham yang harus memberi nasihat dan mengingatkannya adalah pejabat di atasnya.

Jangan menyimpang dari aturan, mencari-cari cara atau menyiasati untuk mem-bisa-kan yang tidak bisa. Jangan melakukan sesuatu secara langsung atau tidak langsung dengan praktik pat-gulipat uang rakyat yang dikelola, agar good governance tidak sebatas slogan.

Malam mendekati pergantian hari, sambil menyeruput kopi saya teringat kisah Abu Nawas ketika menjadi pejabat pemerintah di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad.

Dalam buku “Kisah 1001 Malam”, dikisahkan pemerintahan Harun Al-Rasyid ditimpa krisis ekonomi yang buruk. Pemasukan terbesar kerajaan yang berasal dari pajak tidak mencapai target. Kondisi itu membuat baginda raja geram, hampir tiada hari tanpa amarah dalam setiap pertemuan dengan para menteri dan pejabat kerajaan. Abu Nawas termasuk salah satunya, yang baru dua bulan ditunjuk menjadi petugas yang mengurusi pendapatan (pajak kerajaan).

Semua pejabat yang menyampaikan laporan, ditampik oleh raja. Kertas-kertas laporan berserakan di lantai istana dilemparkan raja lantaran kegeraman seretnya penerimaan pajak. Para pejabat hanya bisa terdiam, tidak bisa memberi jawaban.
Beberapa kali raja merobe-robek laporan para pejabat, lalu dilemparkan disertai umpatan: makan saja itu laporan. Raja menyebut pembantunya semua tidak becus.

Abu Nawas yang dikenal memiliki banyak trik, saat itu merasa kesulitan menghadapi sikap raja. Abu Nawas sempat dihantui rasa takut, jangan-jangan juga disuruh raja memakan kertas-kertas laporan pertanggungjawabannya.

Saat giliran Abu Nawas, ia mencoba percaya mendekati baginda raja membawa sepotong roti. Semua yang hadir heran, bagaimana bisa dalam kondisi genting Abu Nawas malah membawa roti ke hadapan baginda raja.

“Wahai Abu Nawas, apakah dirimu akan menyuapiku dengan roti itu,” bentak

“Bukan begitu paduka raja yang mulia. Laporan pekerjaan hamba semua tercatat dalam roti ini!,” jawab Abu Nawas dengan santai.

“Apa maksudmu, disaat seperti ini engkau menganggap sebagai bahan becandaan? Atau engkau hanya mencoba berpura-pura gila lagi dihadapanku?,” bentak baginda semakin geram.

“Paduka yang mulia, usiaku sudah cukup lanjut, aku tidak akan kuat memakan kertas-kertas laporan yang nantinya baginda sobek dan menyuruhku memakannya. Jadi hamba memindahkan semua laporan itu pada sepotong roti ini,” jawab Abu Nawas.

Pesan Abu Nawas tersebut sangat halus, namun sangat menusuk sasaran. Baginda raja pun tersadar supaya lebih bijaksana memimpin kerajaan, tidak memaksakan kehendak dan bersikap adil kepada bawahan yang tidak lain para pembantunya.

Kisah Abu Nawas dan laporan dalam sepotong roti, mengingatkan praktik yang konon sering terjadi karena memaksakan kehendak mem-bisa-kan yang tidak bisa. Pat-gulipat, menyulap anggaran kertas, biaya kendaraan, perjalanan dinas dan sebagainya untuk membiayai kegiatan yang tidak tersedia anggarannya. (*)

__Terbit pada
03/10/2022
__Kategori
Opini