
Tukang Jagal
M Danial
KETUA MUI (Majelis Ulama Indonesia) Polewali Mandar KH Syahid Rasyid, menjadi khatib salah satu masjid, pada idul Adha kemarin. Secara umum, materi khutbahnya mengenai peristiwa monumental yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail As serta ibundanya, Sitti Hajar. Makna dan hikmah berkurban.
Dalam dimensi sekarang, hewan kurban merupakan simbol penyembelihan sifat ego dalam diri manusia. Menariknya, khatib membahas pula soal tukang jagal hewan kurban. Materinya menjadi pencerahan bagi banyak orang. Selama ini, sangat jarang pembahasan mengenai upah tukang jagal hewan kurban.
Penjelasan soal upah tukang jagal hewan kurban berdasarkan ilmu fiqhi. Menyadarkan keawaman banyak orang. Sejujurnya termasuk saya yang selama ini salah memahami. Bahwa bagian dari tubuh hewan kurban tidak boleh dikompensasi sebagai upah tukang jagal dan yang mengurusi penyembelihan hewan kurban.
Islam tidak membolehkan mengambil kulit atau bagian lain dari tubuh hewan kurban. Untuk upah tukang jagal harus dipastikan terpisah dari hewan kurban sembelihan. Semoga Tuhan memaafkan lantaran keawaman.
Penyembelihan hewan kurban tidak boleh juga oleh sembarang orang. Pun oleh sahibul kurban (orang yang berkurban) jika tidak paham. Harus dilakukan oleh yang memahami caranya sesuai syariat Islam. Memberi upah atau imbalan jasa tukang jagal merupakan hal yang lumrah.
“Memberikan upah kepada orang yang memotong (menyembelih) hewan kurban, itu lumrah. Menghargai pekerjaannya melakukan pemotongan sapi atau kambing kurban. Tapi, bagian dari tubuh hewan kurban tidak boleh dimaterialkan untuk upah, termasuk untuk orang yang mengurusi,” Syahid Rasyid, mewanti-wanti larangan dalam ajaran Islam. Larangan juga berlaku untuk yang menguliti, membersihkan, sampai mengemas daging kurban, maupun untuk pendistribusian kepada yang berhak.
Penjelasan tersebut, merupakan pencerahan keawaman banyak orang. Yang salah paham dalam penyembelihan hewan kurban. Kerap pula terjadi pada acara formal penyerahan hewan kurban disertai simbolisasi oleh pejabat. Sang pejabat diberi kesempatan mengawali penyembelihan sambil disorot kamera. Pejabatnya paham tata cara penyembelihan hewan kurban sesuai ajaran Islam, itu urusan lain. Yang pasti, menjadi sangat merepotkan kalau hewan kurbannya mengamuk, seperti yang terjadi di berbagai tempat saat penyembelihan hewan kurban.
“Ternyata selama ini banyak yang menyalahi ketentuan. Menyimpang dari yang seharusnya karena salah paham,” komentar seorang jamaah. Jamaah lain menimpali. Kalau tidak paham, solusinya bertanya kepada yang paham. Beda kalau salah paham. Menganggap benar suatu kesalahan dengan menafikan yang benar, sama halnya pembiaran. Kalau pembiaran berkaitan urusan agama ? Astaghfirullah !!!
Entah siapa yang harus bertanggung jawab soal kesalahpahaman banyak orang selama ini. Pada ritual penyembelihan hewan kurban dan soal upah tukang jagalnya. Terlepas dari nilai upahnya, Saya teringat seorang teman yang sering bercanda soal salah paham dan tidak paham. Katanya, lebih baik tidak paham daripada salah paham.
“Kalau tidak paham, akan bertanya mencari tahu yang benar. Kalau salah paham, mska kesalahan akan selalu dianggap benar. Itu sangat fatal, sama halnya mengawetkan kesalahan,” jelasnya. Teman saya mengatakan, membiarkan kesalahan dan tidak mencari tahu yang seharusnya, merupakan bentuk egoisme yang bersarang dalam diri banyak orang.
Penyembelihan hewan kurban setiap idul Adha, bermakna pesan untuk selalu berusaha menahan diri. Mengendalikan sifat ego. Menghilangkan kebiasaan paling benar. Bukan terbiasa melakukan sekehendak keinginan karena punya kekuasaan dan kekuatan. Gampang menyalahkan pihak lain, lantaran dirinya didominasi sifat ego. Keangkuhan menjadi ciri khasnya. Yang bukan kelompoknya, dengan mudah dicap dengan berbagai tuduhan yang mengatasnamakan aturan. Kepentingan rakyat hanya sebagai pemanis, lantaran pikirannya dikendalikan ego.
Semoga idul adha menjadi momentum bagi kita menjagal ego dalam diri masing-masing. (*)