Sandal Jepit
M Danial
SANDAL jepit menjadi perbincangan beberapa hari terakhir. Berita soal alas kaki yang populer di semua kalangan. Tetiba menjadi perhatian pimpinan Polri. Mengenai keselamatan berkendara sepeda motor. Pesepeda motor diminta tidak menggunakan sandal jepit saat berkendara. Untuk meminimalisasi cedera jika terjadi kecelakaaan saat berkendara.
Berbarengan vitalnya soal sandal jepit. Seorang kawan sekampung saya menyatakan kegusaran. Soalnya, ia mempunyai kebiasaan mengantar anak sekolah setiap pagi. Mengendarai sepeda motor. Teebiasa dengan pakaian sederharna dan bersandal jepit. Lantaran tergesa-gesa.
“Bayangkan kalau harus pakai sepatu dengan pakaian seadanya,” kata kawan yang menyebut dirinya ayah siaga. Siaga adalah singkatan: siap antar jaga. Istilah para orang tua yang punya rutinitas pagi mengantar anak ke sekolah dan berjaga untuk berbagai macam urusan. “Betapa repotnya kita soal sepatu dan sandal jepit setiap pagi,” imbuhnya.
Sudah menjadi kebiasaan juga. Bersepeda motor ke masjid untuk shalat mengenakan sarung dengan alas kaki yang praktis: sandal jepit. Para emak-emak ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Atau para pedagang asongan yang berkeliling setiap hari. Sudah terbiasa pula menggunakan sandal jepit. Alas kaki yang harganya murah-meriah. Betapa repot mereka kalau berurusan dengan polisi lantaran sandal jepit. Terlebih-lebih kalau persoalan itu menjadi pintu masuk oknum polisi mencari celah pelanggaran.
Berita di media. Pengendara sepeda motor diminta mengenakan sepatu. Untuk melindungi kaki agar tidak cidera kalau terjadi kecelakaan berkendara. Bagaimana pesepeda motor yang memakai celana pendek. Karena dengkulnya terbuka dan rawan cidera kalau terjadi kecelakaan?
“Jangan-jangan, nanti kita diharuskan juga mengenakan pelindung dengkul supaya aman dari kecelakaan,” tukas seorang atlet, yang selalu berkendara sepeda motor.
Sandal jepit bukan hanya merupakan alas kaki yang populer karena praktis dan harganya terjangkau semua kalangan. Sandal jepit juga menjadi identitas yang merefleksikan kebebasan memakainya. Dengan bersandal jepit, pemakainya merasa lebih santai. Bebas bergerak. Tidak terbatas melakukan aktivitas yang bersifat informal. Termasuk saat ke masjid. Atau silaturahmi dengan tetangga.
Betapa repot polisi kalau harus berurusan dengan pemotor yang ke masjid atau silaturahmi dengan tetangga memakai sandal jepit. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat bersandal jepit untuk melindungi kaki dari panas atau kotoran di tanah yang dijebak. Atau mencegah tertusuk benda tajam.
Di beberapa tempat. Di pintu masuk terpasang gambar sandal jepit yang diberi strip merah. Berarti larangan masuk bagi yang memakai sandal jepit. Gambar seperti itu biasanya terpasang di kantor-kantor pemerintah. Atau pusat perbelanjaan. Biasanya berdempet dengan gambar rokok yang diberi strip merah. Kita semua tahu artinya. Dilarang merokok dalam gedung tersebut.
Dikutip dari beberapa sumber. Sandal jepit memiliki sejarah panjang. Dikenal sejak 4000 tahun sebelum Masehi. Tepatnya sejak zaman Mesir Kuno. Yang teridentifikasi melalui penemuan hireoglif tertua di Mesir. Kemudian menjadi petunjuk mengenai kisah pembuatan sandal jepit. Hireoglif menunjukan Raja Menes yang berkuasa pada 3100 sebelum Masehi selalu menyertakan pembuat sandal jepit pada setiap perjalanan. Kemana pun sang raja bepergian. Pada masa itu, umumnya sandal jepit terbuat dari kayu, kulit kambing, dan serat tanaman palem.
Apakah pengendara sepeda motor akan ditilang dan berurusan dengan pengadilan karena pelanggaran lalu lintas? Mungkin jaksa dan hakim perlu mencari pasal pelanggaran memakai sandal jepit. Semoga tidak sejauh itu. (*)