Palippis Dulu dan Sekarang

Catatan M Danial

LAIN dulu lain sekarang. Peribahasa itu relevan untuk menyebut Palippis, daerah yang pada puluhan tahun silam dikenal sepi dan angker. Kini, menjadi kawasan yang mulai ramai.

Dulu, sangat sedikit yang berani melintas di daerah itu, terutama di waktu malam.  Konon, yang melintas selepas magrib, apalagi sendirian, kerap melihat yang aneh-aneh, mengherankan. Kerap melihat gadis cantik berjejer di pinggir jalan, menggoda pengendara yang melintas. Namun tetiba menghilang entah kemana, lalu terdengar suara tawa cekikian di udara, tanpa terlihat datangnya sumber suara. Dan banyak lagi kejadian aneh lainnta yang bikin perasaan merinding.

Itu puluhan tahun silam. Saat jalanan poros Polewali-Majene di lintasan Trans Sulawesi di wilayah antara perbatasan Kecamatan Campalagian dan Kecamatan Balanipa itu belum beraspal. Masih penuh bebatuan, berdebu di musim kemarau, berlumpur di musim hujan. Saat baru satu-dua kendaraan yang melintas dalam sehari. Itupun hanya bendi (dokar) yang merupakan angkutan umum dan sepeda dayung.

Palippis disebut-sebut juga sebagai daerah rawan terjadinya aksi kriminal, seperti penghadangan atau begal terhadap pengendara yang melintas. Di seberang jalan di bagian bawah daerah tersebut, terbentang pantai yang menjadi destinasi wisata sejak beberapa tahun lalu. Sudah terdapat juga beberapa fasilitas untuk para pengunjung. Itu yang menjadikan daerah itu berangsur tidak sepi lagi.

Sejak beberapa tahun tetakhir, Palippis sudah sangat beda kondisinya. Bukan lagi daerah yang sepi. Bahkan, di sana sudah ada cafe menjadi tempat persinggahan. Satu cafe di sebelah timur dalam wilayah Desa Laliko, Kecamatan Campalagian. Namanya cafe Castello. Satu lainnya di sebelah barat dalam wilayah Desa Bala, Kecamatan Balanipa. Pemiliknya menamai cafe Bukit Tinggi, karena letaknya berada di ketinggian, di pendakian sebelah kiri jalan dari arah Desa Bala.

Pernah ada kantor polisi Pos Balanipa di sana. Ditempatkan untuk petugas menjaga keamanan dan memberi kenyamanan  masyarakat yang melintas. Namun, muncul guyonan bahwa sebelum ada pos polisi, takut melintas bawa uang. Takut dihadang begal. Berbeda saat terdapat pos polisi, pengendara tidak berani melintas kalau tidak punya uang. Belakangan, pos polisi di Palippis dicabut.

Cafe Bukit Tinggi, merupakan satu-satunya bangunan di daerah itu yang berpenghuni. Bangunan permanen di sebelah kanannya, merupakan peternakan walet yang berdiri sebelum cafe Bukit Tinggi.

Sejak membuka usaha yang melayani aneka makanan dan minuman, dan bertempat tinggal di sana, pemilik cafe Bukit Tinggi, Fatimah mengatakan biasa-biasa saja. Tidak pernah merasakan atau melihat yang aneh-aneh, sebagaimana cerita mengenai Palippis puluhan tahun silam yang angker dan menakutkan. “Selama di sini, tidak pernah merasa atau melihat yang aneh-aneh. Biasa saja, seperti di kampung,” tuturnya, Ahad lalu. Bedanya, menurut Fatimah, karena di sana masih sepi. “Kalau sudah jam sepuluh (pukul 22) malam tidak ada tamu, kami tutup,” tukas perempuan 46 tahun itu.

Warga Desa Bala itu memastikan kondisi Palippis tidak lagi menyeramkan. Terbukti putrinya melahirkan dengan lancar di sana, tiga bulan lalu. Ia menceritakan, beberapa kali pernah didatangi orang minta diberi makan atau sekedar minum kopi. “Karena dia tidak punya uang, kami ikhlas melayani. Tidak semua rezeki berupa yang diterima. Memberi juga adalah bentuk lain rezeki,” katanya. Fatimah dan seorang anaknya  hanya tersenyum, disebut perintis yang menyulap daerah angker menjadi kawasan keramaian. “Saya hanya buka usaha di sini, syukurlah kalau nanti bisa berkembang,” tukasnya. (*)

__Terbit pada
22/03/2021
__Kategori
Opini