Foto Naskah Proklamasi. Sumber-INT

Naskah Proklamasi

Oleh M Danial

HARI ini, tanggal yang sama tujuh puluh lima tahun yang lalu, 17 Agustus 1945, hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan. Pembacaan naskah proklamasi dilakukan oleh Ir. Soekarno, didampingi Drs. Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat. Proklamasi yang menandai kemerdekaan Indonesia, merupakan rangkaian ikhtiar panjang bangsa Indonesia untuk terbebas dari belenggu penjajahan. Tanggal 17 Agustus sebagai Hari Kemerdekaan RI, ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah pada 18 Juni 1946.

Kata proklamasi berasal dari bahasa Yunani. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, proklamasi artinya pengumuman atau pemberitahuan resmi kepada seluruh rakyat. Dikutip dari situs resmi Kemendikbud RI, naskah proklamasi merupakan tulisan tangan Soekarno. Tulisan tangan tersebut, lalu diketik oleh Sayuti Melik, kemudian ditanda tangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.

Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai proklamator kemerdekaan, diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Keduanya dikukuhkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945. KNIP merupakan cikal bakal lembaga legislatif di Indonesia, yang anggotanya terdiri pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah di Indonesia.

Suasana pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, saat perumusan naskah proklamasi diliputi suasana ketegangan. Dikutip dari “historia.id”, saat itu terjadi beberapa peristiwa yang tidak banyak diketahui masyarakat. Seperti masalah mesin tik untuk mengetik klad naskah proklamasi, penandatanganan naskah proklamasi di atas piano, naskah asli yang terbuang, debat pengesahan naskah, dan perubahan beberapa kata dan kalimat.

Masih dari “historia.id”, perumusan naskah proklamasi dilakukan di sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat. Di sana, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebarjo menulis konsep (klad) naskah proklamasi.
Klad naskah Proklamasi yang telah dibacakan dan disetujui semua yang saat itu hadir di rumah Laksamana Maeda, diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Laksamana Maeda Tadashi, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada Perang Pasifik. Jabatannya adalah Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang. Sang Laksamana termasuk memiliki andil penting dalam kemerdekaan Indonesia, karena bersedia meminjamkan kediamannya ditempati pertemua penyusunan naskah proklamasi.

Namun, Sayuti Melik yang bersiap mengetik, menghadapi kesulitan karena di rumah itu yang ada hanya mesin tik berhuruf kanji. Yang dibutuhkan adalah mesin tik huruf latin. Menurut Satzuki Mishima, ajudan Laksamana Maeda yang diwawancarai tim Museum Perumusan Naskah Proklamasi, mengatasi masalah itu terpaksa meminjam mesin tik berhuruf latin di kantor perwakilan militer Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia. Gedung tersebut, kini menjadi markas Armada Barat di bilangan Pasar Senin).

Peristiwa lain yang terjadi, yaitu setelah perumusan klad naskah proklamasi, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebarjo menemui semua orang yang sedari tadi menunggunya. Tepat di samping piano yang terletak dekat tangga dan dapur, ketiganya berdiri membacakan hasil pemikiran mereka tentang naskah proklamasi. Sempat terjadi sejumlah perdebatan, namun pada akhirnya klad naskah Proklamasi disetujui. Sebagai bukti pengesahannya, Soekarno dan Mohammad Hatta diminta membubuhkan tanda tangan pada naskah tersebut. Keduanya, tanpa beranjak dari tempat dan dalam posisi berdiri, membubuhkan tanda tangan dengan memanfaatkan piano sebagai alas. Letak piano bersejarah tersebut, masih dapat disaksikan dalam bentuk replika di Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Tokoh pers, B.M Diah yang hadir pada 16 Agustus 1945 malam, menceritakan pengalamannya dalam buku biografinya: “Butir-butir Padi B.M. Diah: Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman”. Dalam buku karya Dasman Djamaluddin tersebut, B.M Diah menuturkan bahwa dirinya menemani Sayuti Melik saat mengetik naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno. Menurut B.M Diah, Sayuti Melik setelah mengetik, meremas dan membuang kertas berisi tulisan tangan itu ke tempat sampah. B.M Diah yang berada di tempat itu melihatnya, lalu mengambil dan menyimpan naskah tulisan tangan asli tersebut. Sumber lain menyebutkan, bahwa Sayuti Melik tidak membuang naskah asli itu. Melainkan menyimpan di atas meja. Naskah itu kemudian diambil dan diselamatkan B.M Diah. “Saya tidak menyangka kertas tersebut menjadi dokumen penting di kemudian hari,” kata B.M. Diah.

Sebelum naskah proklamasi disetujui, Soekarno membacakan konsep yang dibuat dan menyarankan semua yang hadir untuk membubuhkan tanda tangan. Alasan yang mendasari Soekarno, bahwa tanda tangan semua yang hadir sebagai pertanda semua berperan menjadi wakil bangsa Indonesia dalam proses kemerdekaan.

Sempat terjadi perdebatan. Saran Soekarno ditentang golongan pemuda. Alasan penentangan mereka, karena tidak rela orang-orang yang dianggap menjadi “budak Jepang” ikut mengesahkan naskah Proklamasi. Yang mereka maksud “budak Jepang”, adalah golongan tua yang mereka nilai tidak memiliki andil dalam pergerakan nasional. Golongan tua merasa tersinggung. Perdebatan akhirnya reda setelah Sukarni, salah seorang dari golongan muda mengusulkan penandatangan naskah cukup dilakukan oleh Sukarno dan Muhammad Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usulan Sukarni diterima semua yang hadir sebagai solusi terbaik.

Beberapa perubahan dalam naskah awal proklamasi, dilakukan Sayuti Melik saat pengetikan klad naskah yang ditemani B.M. Diah. Perubahan dimaksud, kata “tempoh” menjadi “tempo”. Lalu kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti menjadi “Atas nama Bangsa Indonesia” dan menambahkan nama “Soekarno-Hatta”. Sayuti Melik mengganti juga tulisan “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”. Angka 05 adalah singkatan dari 2605 tahun showa Jepang, sama dengan tahun 1945.

Sayuti Melik, dalam “Wawancara dengan Sayuti Melik” menyatakan berani merubah beberapa kata dan kalimat saat pengetikan, karena sebagai orang yang pernah bersekolah guru, merasa punya pengetahuan mengenai bahasa dan ejaan yang benar. “Saya berani mengubah ejaan itu karena saya dulu pernah sekolah guru. Jadi soal ejaan bahasa Indonesia, saya merasa lebih mengetahui daripada Bung Karno,” kata Sayuti Melik dalam buku karya Arief Priyadi.-

MERDEKA !!!
Dirgahayu Republik Indonesia

Mapilli, 17 Agustus 2020

__Terbit pada
17/08/2020
__Kategori
Opini