Wakil Ketua DPRD Sulbar, Usman Suhuriah

APBD SULAWESI BARAT

Legislativ Corner’s

Oleh : Usman Suhuriah
Wakil Ketua DPRD Sulbar

Keberadaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah sangat penting artinya. Merupakan penentu terhadap perjalanan pemerintahan di daerah. Keberadaan APBD ini pun seringkali menjadi sorotan terutama dalam melihat efektifitas perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya.

Berdasarkan konsepsinya maka APBD oleh kepala daerah diberi kewenangan dalam pengelolaannya. Meliputi kewenangan untuk pungutan sumber pendapatan daerah, penyelenggaraan, pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah, selanjutnya penghitungan dan penetapan APBD.

Provinsi Sulawesi Barat untuk saat ini tengah memasuki pembahasan APBD 2021 dimulai dengan pembahasan kebijakan umum anggaran (KUA). Pembahasan ini tentu akan menyangkut dua hal yakni aspek pendapatan dan aspek belanja. Kedua aspek tersebut akan dirumuskan dalam suatu pokok-pokok kebijakan di bidang pendapatan dan belanja selama jangka waktu satu tahun anggaran.

Bagi pemerintah daerah maka dalam proses APBD ini tidak bisa luput dari azas pelaksanaan APBD terutama terkait dengan azas efektifitas dan efesiensi. Azas ini akan melihat dengan detail dimulai dari perencanaannya. Dalam perencanaannya adalah harus dapat dihitung tingkat efektifitas dan efesiensinya berdasarkan asumsi awal baik pada sektor pendapatan maupun dalam belanja. Unsur efesiensi dan efektifitas ini sudah harus diproyeksi melalui berbagai standar yang telah ditetapkan.

Hal selanjutnya adalah aspek pelaksanaan (implementasi) APBD. Dalam pelaksanaannya maka konteksnya akan merujuk pada konsistensi perencanaan dengan pelaksanaannya. Sehingga dalam perjalanan tahun anggaran akan terlihat “derajat penyimpangan” APBD baik pada aspek pendapatan maupun belanja. Tingkat penyimpangan itu berhubungan dengan daya dukung pelaku serta lingkungan eksternal yang mempengaruhi implementasinya.

Pencapaian target pendapatan dihubungkan dengan analisa biaya maupun kapasitas pelaku serta analisa beban kerja turut mempengaruhi termasuk pada aspek belanja. Demikian juga pengaruh eksternal atau pihak ketiga berhubungan dengan dukungan atau motivasinya untuk melaksanakan APBD yang dengan motivasi yang jujur.

Sementara pada aspek pengawasan adalah akan berhubungan dengan kewenangan para pihak diantaranya ; Kementerian dalam negeri (Kemendagri) untuk memberikan asistensi dan penilaian. Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan Badan pemeriksa keuangan daerah (BPKD) dalam hal fungsi auditor baik keuangan maupun kinerja. Begitupun dengan fungsi pengawasan oleh DPRD untuk memberi penilaian implementasi APBD, meskipun dalam fungsi anggaran bagi lembaga ini adalah sejak proses perencanaan, dan implementasinya adalah akan memberikan monitoring dan pengawasan di sepanjang perjalanan APBD.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah tugas fungsi pemerintah daerah berhubungan dengan aspek pengawasan ini (inspektoriat). Yaitu dalam pengawasan bersifat melekat adalah akan dijalankan oleh lembaga ini dalam rangka menjamin dan memastikan segala proses pelaksanaan APBD berjalan sesuai dengan rencana.

Dalam pengelolaan APBD maka terdapat tiga ruang lingkup yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah (Rahardjo, 2011). Dari keempat unsur ini dipercaya akan menghasilkan pengeloaan APBD akan berhasil baik dan dapat memberikan dampaknya kepada masyarakat. Ruang lingkup itu meliputi pertama, profesionalitas bagi pimpinan dan jajaran pemerintah daerah. Kapasitas profesional adalah kompentensi pimpinan dan jajaran pemerintah untuk bersungguh-sungguh memahami tata kelola APBD diikuti dengan pandangan yang berwawasan masa depan. Kedua, terdapat sumberdaya manusia aparat (SDM) dengan disiplin keilmuan bidang keuangan daerah yang terampil, berkemampuan, serta memiliki motivasi yang kuat. Dan ketiga, terdapat sarana dan prasarana, pengaturan, dan kelembagaan yang kuat untuk mengelola APBD baik pada rancangannya, implementasinya, monitoring dan evaluasinya.

Mengeloa APBD bagi pemerintah daerah provinsi Sulawesi Barat dengan kemampuan anggaran minimalis, terutama karena daya dukung pendapatan masih sangat kecil (PAD dengan indeks kecil), kapasitas fiskal dari transfer pemerintah pusat yang masih kecil dan sumber pendapatan lain-lain dengan kapasitas lebih kecil lagi, maka berdasarkan ini sudah seharusnya menggunakan hukum besinya dengan memanfaatkan sumberdaya yang sedemikian kecil namun tertuju kepada hasil yang lebih besar.

Adalah tidak boleh menggunakan penghitungan pendapatan sama dengan belanja melainkan harus mendapatkan nilai tambah dalam bentuk dampak (outcome), dan kemanfaatan yang diterima (benefit accepted) atau kegunaan maupun faedah yang berefek kepada kesejahteraan masyarakat.

__Terbit pada
10/08/2020
__Kategori
Opini, Parlemen