
Kisah Guru Muda di Pelosok Desa, Seorang diri Mengajar Satu Sekoah
Tapango,- Kendati setiap tahun pemerintah melakukan penerimaan guru, untuk pemerataan tenaga pengajar hingga ke pelosok negeri, namun nyatanya sampai saat ini, masih banyak sekolah yang kekurangan tenanga pengajar. Bahkan tidak sedikit sekolah, yang hanya memiliki seorang guru dengan status guru tidak tetap (GTT). Salah satunya pada kelas jauh SDN 044 Tondo Pata, Desa Riso, Kec.Tapango, Kab.Polman, Sulbar.
Sudah beberapa tahun terakhir, sekolah yang bereda di pedalaman ini hanya memiliki seorang guru. Jarak jauh dengan akses jalan yang buruk, kerap menjadi alasan sehingga tidak ada satupun guru yang betah mengajar di sekolah ini.
Namun tidak bagi Sapriadi, pemuda desa yang sejak tahun 2008, rela mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di sekolah pedalaman ini. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, Sapriadi harus mengajar untuk semua tingkatan kelas dalam waktu yang hampir bersamaan.
“ awalnya sempat bingung dan kesulitan, namun karena jumlah muridnya sedikit akhirnya saya berusaha dengan cara semua murid saya kumpulkan dalam satu rungan, kemudian papan tulis saya beri garis pembatas, agar murid tau mana pelajaran yang saya berikan untuk kelas satu, dua ataupun tiga “ ujar Sapriadi sambil tertawa.
Walau berstatus sebagai guru tidak tetap dengan upah tidak lebih dari 17.000 ribu rupiah per/hari, tidak menyurutkan semangat Sapriadi untuk terus mengajar di sekolah kelas jauh ini.
“ agar tidak terlambat sampai di sekolah, saya biasanya berangkat lebih pagi, sebisa mungkin saya tiba di sekolah sebelum para murid, soalnya kasian, para murid kadang langsung pulang lagi ke rumah, jika di sekolah belum ada guru “ ungkap Sapriadi.
Kecintaan kepada anak-anak dan mimpi agar mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak, menjadi pelecut semangat lelaki bergelar sarjana pendidikan ini, hingga rela menukarkan masa mudanya dengan menjadi pengajar di sekolah kelas jauh ini.
“ kadang saya merasa sedih jika melihat anak-anak yang tidak bersekolah, apalagi jika karena alasan tidak ada guru, itu sebabnya saya rela bertahan menjadi tenaga pengajar di sekolah ini, walau seorang diri, “ ujar pria kelahiran 20 November 1989 ini.
Menjadi guru tunggal di sekolah bukannya tidak memiliki tantangan yang berat, selain harus menguasai semua mata pelajaran, Sapradi mengaku harus selalu siap mengabaikan kepentingan masa depan demi pendidikan para murid di sekolahnya.
“ yang paling berat kalau ada urusan pribadi, tidak ada teman yang bisa menggantikan jam mengajar, jadi sebisa mungkin tetap hadir di sekolah, asalkan para murid tidak kecewa “ tutur Sapriadi.
Diakui Sapriadi, awalnya sekolah kelas jauh ini memiliki guru lain berstatus pegawai negeri sipil. Namun tidak cukup sebulan guru tersebut meminta untuk dipindahkan ke sekolah lain.
“ sepertinya dia tidak sanggup mengajar di sini, selain jaraknya cukup jauh dari pusat desa, dusun ini juga sangat terpencil dengan akses jalan yang masih jauh dari kata bagus “ tutur Sapriadi.
Sapriadi, bukanlah satu-satunya guru di pelosok negeri ini, yang harus berjuang seorang diri untuk memajukan pendidikan dalam kondisi memprihatinkan.
Namun keberadaan Sapriadi menjadi bukti, bahwa pemerintah gagal melakukan pemerataan tenaga pengajar, kendati setiap tahun pemerintah melakukan penerimaan tenaga pengajar dengan jumlah yang tidak sedikit.
Selamat Hari Guru, Selamat Hari Wahai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa….!!!!!!